Jika anda datang kepada kami, di desa yang terpencil ini, maka kami hanya akan menagih janji yang bisa terimplementasi. Kami tidak pandai berimajinasi. Apalagi sekedar fantasi.Â
Ya, kami akui jika sebagian besar dari kami bukanlah manusia "tersekolahkan tinggi-tinggi" (saya menolak menyebut "terdidik").Â
Seharusnya anda paham situasinya, saya tidak perlu menjelaskan di sini. Membutuhkan artikel tersendiri untuk membahas masalah "tersekolahkan".Â
Hal yang dimengerti jika dalam keseharian pun kami dilarang untuk mendebat. Apalagi mendebat orang tua. Dalam persepsi kami, anak yang baik salah satu cirinya adalah anak yang penurut. Manut.Â
Manusia pendebat dicap sebagai manusia tidak tahu etika. Buat kami etika lebih tinggi dari kemampuan logika. Toh, selama ini kehidupan diantara kita baik-baik saja. Jauh dari konflik, tidak saling curiga dan _hal terpenting_ kami mau membangun bersama.Â
Buat warga, setiap manusia diciptakan berbeda. Jika anda sanggup memimpin maka lakukan saja. Buktikan bukan diucapkan.Â
Kami percaya jika kecerdasan merupakan karunia. Bukan perkara yang layak untuk menjadi kebanggaan. Justru, ketika disalahgunakan maka kecerdasan itu akan mencambuk dirinya dalam bentuk kesengsaraan.Â
Asal anda tahu, ini bukan Yunani masa klasik di mana Socrates dan Plato saling berdebat di alun-alun kota. Ini Nusantara yang mana kami pergi ke alun-alun kota andaikan ada pasar malam atau menonton perlombaan adu kecepatan. Tidak tercatat jika kami akan terpesona pada orang yang berdebat dalam panggung tepat di depan balai kota.Â
Namun, bila pengetahuan anda luas maka "penasehat" menjadi jabatan yang paling cocok. Sebagaimana Empu Prapanca senantiasa berada di Istana Mojopahit untuk menemani Sang Prabu.Â
Tidak perlu "ingin terlihat pintar" tetapi cukup memberikan banyak masukan tanpa menanggalkan kerendahan hatinya.