Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Bisakah Karisma Diwariskan Sebagaimana Putra Jokowi?

13 Desember 2023   04:59 Diperbarui: 13 Desember 2023   05:45 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Ayah yang berbakat melukis sedang mengajari anaknya. Apakah kepemimpinan seperti demikian?  (sumber: Bing Image Kreator)

Andaikan  jadi anak Pa Jokowi, mungkin sekarang sudah menjadi cawapres atau Ketum partai. Mas Gibran, usia tidak terpaut jauh dengan saya. Apalagi Mas Kaesang, umurnya lebih muda. 

Ini bukan perkara lamunan, tetapi sebuah pertanyaan besar dalam benak. Bagaimana bisa putra Jokowi memiliki daya pikat sebagaimana bapaknya? Kenapa warga tidak keberatan mereka menjadi pemimpin padahal masih banyak tokoh yang lebih senior?

Tetapi, kalaupun saya menjadi anak presiden, belum tentu bisa menjadi seorang pemimpin. Sepertinya, tidak ada bakat kepemimpinan tertanam dalam diri. Ditambah, karisma seorang pemimpin tidak tumbuh begitu saja meskipun punya orang tua seorang tokoh pemangku negeri. 

***

Ah, sebenarnya kita tidak perlu iri kepada Mas Gibran dan Mas Kaesang. Menurut saya, ini bukan perkara yang "kebetulan saja dia anak presiden" tetapi ini mengenai "hasil dari sebuah proses pendidikan yang tidak diketahui publik."

Mungkin saja keluarga Pa Jokowi memang disiapkan untuk menjadi pemimpin sejak jauh-jauh hari. Warga tidak pernah tahu bagaimana seorang ayah mendidik anaknya agar bisa mengikuti jejak karir sebagai pemimpin. Sangat mungkin jika apa yang terjadi kepada Mas Gibran dan Mas Kaesang merupakan buah dari proses yang "tidak kentara" tersebut. 

Warga tidak akan pernah bisa memprediksi jika nanti si anak akan menjadi pemimpin. Zaman berubah dengan cepat, begitupula selera orang mengenai kriteria kepemimpinan. 

Label pemimpin masa kini tidak seperti masa lalu. Misalkan, gelar Raden yang pasti akan disematkan kepada bayi dari seorang ayah bergelar sama. Masa kini, orang tua hanya menyiapkan anak untuk menerima estafet kepemimpinan. 

Berdasarkan pengamatan pribadi, ada juga lho anak seorang pemimpin di masyarakat yang tidak bisa meneruskan estafet kepemimpinan orang tuanya. Ayah yang memiliki karisma di mata warga, sang anak tidak memperoleh karisma yang dibutuhkan untuk seorang pemimpin. Si anak jadi kesal kepada warga ketika sulit diatur atau diajak untuk menjalankan sebuah rencana. 

Contoh lain, ada anak yang sakit hati karena warga tidak memilihnya sebagai pemimpin padahal dia anak seorang tokoh terpandang. Memang konsekuensi demokrasi, jika suara rakyat menjadi penentu bagi keberlangsungan pemerintahan di suatu daerah. Jangan salahkan warga jika calon pemimpin malah tidak memperoleh dukungan ketika suksesi. Kalau tidak sesuai kriteria ideal, mana mau memilih pemimpin demikian. 

Pada akhirnya, saya memperoleh sedikit jawaban tentang keheranan yang mengganggu pikiran. Apabila putra seorang pemimpin akan selalu didambakan untuk meneruskan sang ayah, karena warga pun percaya jika mereka lahir dari keluarga yang menerapkan pola pendidikan untuk menjadi seorang pemimpin. Ini bukan semata tentang karisma yang terpancar atau bakat yang diturunkan, tetapi keluarga para pemimpin memang mempersiapkan anaknya untuk hal demikian sejak dini. 

Ketika si anak sudah dewasa dan kesempatan itu datang menghampiri, maka fisik dan mentalnya sudah siap untuk menyambut. Bukan sebaliknya, malah menjadi pribadi yang takut akan tanggungjawab yang lebih besar. 

***

Selanjutnya, mari kita bicara tentang kriteria ideal seorang pemimpin dambaan rakyat. Andaikan saya bisa meneropong masa lalu, mungkin bisa membandingkan bagaimana orang pada zaman dahulu mendambakan seorang pemimpin yang ideal. 

Menjadi pemimpin sebuah kawanan di padang rumput haruslah seorang yang kuat. Sebagaimana tergambar di film-film kolosal, pemimpin adalah si ahli bertarung. Bahkan dia bisa membunuh seekor harimau. Dengan demikian, kawanan akan merasa aman dari segala gangguan.

Lalu, masa kini citra ideal pemimpin itu berubah karena kebutuhan pun berubah. Tentu tidak hanya kuat secara fisik, malah kecerdasan intelektual pun tidak menjadi prioritas utama. Orang juga mulai memperhatikan kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial. Hanya saja hal tersebut tidaklah berlaku pada setiap komunitas di masyarakat. Manusia akan selalu berubah dari waktu ke waktu dalam memandang sesuatu. 

Maka tidak usah heran jika ada sekelompok warga yang percaya kepada pemimpin berkarisma meskipun belum berpengalaman. Sosok demikian dianggap sanggup memikat banyak kalangan tanpa menimbulkan banyak pertentangan. Pada akhirnya, pemimpin demikian bisa mempersatukan bukan menimbulkan perpecahan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun