Saya suka  kesal  apabila orang tua sering "membanggakan" pengalaman. Bapa dan Ibu saya tahu hal itu; makanya akhir-akhir ini mereka jarang membicarakan pengalaman untuk sekedar dibanggakan.Â
Kekesalan saya cukup beralasan.Â
Manakala berbincang dengan generasi pendahulu tentang suatu problematika yang harus diselesaikan, maka pengalaman akan menjadi senjata pamungkas untuk "menyerang" sekaligus "mempertahankan" diri dari argumen yang disampaikan oleh generasi penerus. Pengalaman dianggap sebagai pengetahuan paling bisa dipertanggungjawabkan karena diperoleh dari proses belajar yang berlangsung lama.Â
Ya, penglamanan memang menggunakan indera untuk merekam data serta menguji pengetahuan yang dimiliki. Tetapi, satu hal yang dilupakan jika pengalaman pun dipengaruhi faktor ruang dan waktu. Dua hal terakhir inilah yang luput dari perhatian.
Ruang dan waktu yang mempengaruhi input pengetahuan seseorang di masa lalu tentu berbeda dengan ruang dan waktu yang dihadapi masa kini. Saya yakin jika pengalaman bisa memantapkan mental agar segera mengambil keputusan untuk bertindak; sekaligus pengalaman pun bisa menjadi alarm agar "jangan terburu-buru" untuk bertindak. Tetapi, pengalaman pun memiliki keterbatasan.
Sebagai contoh, saya sering membicarakan perkara bagaimana bercocok tanam atau memelihara hewan ternak. Tentu saja para orang tua percaya diri jika pengalamannya bisa menjadi tolak ukur keberhasilan. Padahal, kenyataannya kegagalan pun sering menghampiri.
Jika telah dihadapkan pada kegagalan, maka kebanggaan akan pengalaman tidak bisa lagi dijadikan andalan.Â
Saya pikir anda pun sepakat, harus ada upaya menambah pengetahuan dari sumber lain. Pengetahuan yang didasarkan pada "pemahaman" manusia-manusia "pilihan". Mereka adalah orang-orang yang terlahir telah dikaruniai kemampuan untuk memahami keadaan dari berbagai sudut pandang meskipun subjektif.Â
***
Beberapa saat lalu, saya menonton perbincangan mengenai politik Timur Tengah pada saluran YouTube. Si narasumber terang-terangan "meremehkan" narasumber lain yang belajar dari buku. Narasumber itupun begitu bangga dengan pengalamannya yang pernah melihat, mendengar dan merasakan sendiri bagaimana hidup di daerah konflik.Â
Saya menjadi bertanya-tanya, "bukankah apa yang dia indera terbatas pada ruang dan waktu?"Â
Meskipun memiliki pengalaman hidup di tanah penuh konflik, apakah serta merta dia memahami akar masalah dari konflik tersebut? Toh, kompleksitas masalah harus bisa dimengerti dengan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi; kemudian mengolah setumpuk data tersebut dalam otak dengan pola berpikir yang terstruktur. Memahami keadaan tidak cukup dengan mengandalkan kebanggaan akan pengalaman apalagi perasaan.Â
Dalam memandang persoalan, saya pikir perlu ada cara pandang mata elang ditambah cara pandang mata cacing. Perpaduan keduanya akan dirasa lebih mantap tanpa harus saling meremehkan.
Orang yang mengalami perlu didengarkan. Orang yang memahami perlu dijadikan acuan.
Kembali pada contoh perkara bercocok tanam dan memelihara hewan. Andaikan ada kegagalan panen, mungkin bukan caranya yang salah karena sudah diterapkan bertahun-tahun. Tetapi, mari kita lihat persoalan dari cakupan yang lebih luas (makro) sebagaimana seekor elang melihat permukaan daratan dari ketinggian udara. Bisa saja sebuah kegagalan merupakan faktor pemanasan global yang belum pernah terpikirkan jika menggunakan sudut pandang mata cacing _yang mencakup hal sangat sempit (mikro).
Jadi, kerendahan hati perlu ada pada manusia-manusia yang dikaruniai budi pekerti. Ketika seorang manusia yang rajin berpikir lebih bisa memahami keadaan meskipun minim pengalaman, ya pendapatnya layak didengar. Begitupula orang yang sarat akan pengalaman, dia menjadi sumber informasi penting meskipun tidak pandai mengolah data yang tak kasat mata.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H