Saya terpukau ketika pertama kali melihat jalan-jalan di kampung. Bukan hanya di pinggir, bahkan di atas tengah jalan pun dihiasi oleh bendera dan umbul-umbul. Kibaran benda berbahan kain itu begitu kencang ketika angin menerpa. Sungguh pemandangan yang membangkitkan semangat jiwa.
Kibaran bendera dan umbul-umbul ternyata disertai debu yang beterbangan. Kemarau telah menciptakan debu dalam intensitas sangat banyak. Tanah-tanah yang kering karena telah lama tidak disirami oleh hujan berubah wujud menjadi debu yang mengganggu.
Ketika pertengahan Agustus, maka menjadi saat yang paling meriah. Saya mendengar suara speaker acara lomba dan hiburan dari berbagai arah. Warga desa bergembira kala merayakan Hari Merdeka.
Hingga, kami lupa jika kemarau tiba sama dengan kesulitan memperoleh air bersih.
Di kampung-kampung, sudah menjadi hal lumrah jika pesawahan disulap menjadi arena permainan. Apabila musim tanam, lahan tersebut basah serta berlumpur. Maka, bulan Agustus berguna untuk menyelenggarakan lomba tanpa khawatir andaikan tanaman diganggu hama.
Lomba panjat pinang, balap karung hingga pentas seni memang nyaman diselenggarakan di sawah gersang. Lumpur berubah menjadi tanah berongga sebagai penanda jika tak tersentuh air dalam waktu lama. Anak-anak pun tidak merasa bersalah menjadikan tanah lapang tersebut menjadi arena bermain. Toh, para orang tua juga yang memulai kebiasaan ini.
Tanah berongga menjadi simbol kesulitan. Coba perhatikan foto-foto bertemakan "kekeringan" maka identik dengan tanah berongga. Begitupun bagi warga, hanya saja mereka lupa sejenak demi menikmati suasana di alam merdeka.
Ternyata, debu-debu yang beterbangan tidak menyurutkan semangat warga untuk memeriahkan suasana. Bahkan sulitnya air sebagai kebutuhan rumah tangga hanya dianggap hal biasa. Semangat untuk mengingat perjuangan pahlawan bangsa telah mengalahkan keletihan berjuang untuk hidup mengisi masa merdeka.
Ibu-ibu tahu apabila harga pangan merangkak naik akibat kekeringan. Mereka pun memaklumi jika suami tidak memiliki pendapatan.
Langit yang cerah tidak serta merta membuat wajah kami cerah. Tidak lagi sumringah ketika menyambut para petani memanen padi di sawah. Karena gagal panen bisa melanda jika berani bertani di kala curah hujan pun rendah.
Mengandalkan air dari sungai, bagi petani, sama sulitnya dengan mengandalkan uluran  tangan pemangku negeri. Kami tahu mereka peduli. Namun, kami pun tahu jika kemampuan mengelola negeri tidaklah jauh beda dengan kemampuan kami. Kebingungan sendiri di tengah karunia Illahi yang tak terperi.
Kesusahan kami, hanya menjadi konsumsi warga negara yang duduk di strata sosial tertinggi. Paling banter, bisa curhat pada juru warta yang kebetulan berkunjung ke desa. Kami pun tidak tahu, apakah mereka benar-benar akan memberi solusi atau sekedar memprovokasi. Ya, setidaknya ada dokumentasi jika bulan Agustus kekeringan memang senantiasa terjadi.
Jika sudah ada dokumentasi, setidaknya bisa menjadi pelajaran bagi penerus generasi. Bahwa, orang tuanya "kalah" oleh "malapetaka bumi" yang sering digembor-gemborkan pegiat lingkungan.
Bukan karena tidak memiliki pengetahuan. Tetapi, terlena dengan kemudahan.
Kita terlena apabila musim hujan diberkahi air berlimpah. Kemudian abai jika akan ada masa kemarau yang susah.
Tidak ada upaya untuk menginvestasikan waktu, tenaga dan dana untuk persiapan menghadapi kemarau yang panjang. Memang, kita lebih senang mengalokasikan uang untuk kemeriahan atau kemewahan. Enggan berinvestasi untuk menghadapi masa dimana hampir semua ummat manusia dilanda kesulitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H