Sebuah motifasi yang sulit kami mengerti tetapi memang itulah yang terjadi. Berbondong-bondong datang ke kota bukan hanya karena demi memenuhi kebutuhan semata, kami sangat ingin dipuji oleh saudara dan tetangga.
***
Kami _warga desa_ Â sanggup melakukan pekerjaan yang kurang diminati oleh warga kota. Menggali selokan yang penuh kotoran di bawah terik sinar matahari, sanggup dilakukan orang desa yang terbiasa bekerja di ladang. Tak apa bekerja dari pagi hingga petang dengan upah seadanya karena masih mending dibandingkan menjadi buruh tani.
Para perempuan sudah biasa bekerja sebelum adzan subuh berkumandang demi membereskan urusan rumah tangga. Meskipun itu urusan rumah tangga sang majikan.
Mungkin anda akan terheran-heran, kenapa kami bersedia melakukan pekerjaan demikian? Jam kerja yang panjang serta menguras banyak energi, hanya cocok dilakukan oleh manusia yang kuat secara fisik karena terbina sejak dini. Mesin pun belum tentu sanggup melakukan hal demikian.
Namun, kami tidak terlalu peduli dengan rasa heran orang-orang kota. Apalagi anggapan negatif mereka kepada warga desa yang tidak berpendidikan serta datang tanpa tujuan dan keahlian.
Hal yang kami pedulikan adalah pujian orang-orang di kampung. Mereka akan menyanjung karena kami dianggap sukses hidup di kota. Tetangga akan mengira jika kami menjalani pekerjaan yang nyaman di kota.
Wajar jika tetangga mengira seperti itu. Karena pembandingnya adalah bekerja ala orang desa yang kasar tetapi sulit menjadi sejahtera. Sama-sama lelah tetapi hidup tetap susah. Setiap hari bekerja tanpa jeda namun tetap miskin dan sengsara.
Masih mending jika bekerja di kota. Setidaknya punya banyak cerita ketika saudara bertanya. Pengalaman menjadi barang berharga meskipun sudah tidak relevan dengan zaman.
***
Warga desa hidup guyub. Kami merasa terikat satu sama lain secara emosi. Jika ada saudara yang mengalami kesulitan maka kami tak segan untuk saling membantu.
Keterikatan emosi tersebut sepertinya membuat kami sangat memperdulikan pendapat saudara dan tetangga. Apabila ada perkataan mereka yang menyinggung perasaan maka termotivasi untuk membuktikan jika semua yang disampaikan itu salah. Sebaliknya, andaikata kita menuai banyak pujian maka termotivasi untuk mengulangi apa yang telah kita kerjakan. Meskipun, fisik tidak sekuat beberapa tahun belakangan.
Rasa malu masih menjadi hantu bergentayangan dalam pikiran. Begitupula rasa bangga bisa menjadi obat jiwa di kala hidup dunia dilanda duka nestapa.
Keterikatan emosional dengan saudara memang hal yang mesti dipelihara. Hanya saja, opini miring mereka menentukan keputusan kita. Wajar adanya jika kami tidak bisa menentukan tujuan hidup sendiri. Kekurangan informasi menjadi alasan jika kami kurang mandiri. Sekaligus, kami masih belum tahu apa yang harus dilakukan di tanah yang subur ini.
Jika besok lusa anda masih melihat ketimpangan pendapatan antara desa dan kota, maka mohon pengertiannya karena kami pun tidak tahu harus melakukan apa. Maka dari itu, bantu desa dengan investasi di segala lini. Karena, hanya itulah cara agar manusia pribumi berdikari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H