Warga desa hidup guyub. Kami merasa terikat satu sama lain secara emosi. Jika ada saudara yang mengalami kesulitan maka kami tak segan untuk saling membantu.
Keterikatan emosi tersebut sepertinya membuat kami sangat memperdulikan pendapat saudara dan tetangga. Apabila ada perkataan mereka yang menyinggung perasaan maka termotivasi untuk membuktikan jika semua yang disampaikan itu salah. Sebaliknya, andaikata kita menuai banyak pujian maka termotivasi untuk mengulangi apa yang telah kita kerjakan. Meskipun, fisik tidak sekuat beberapa tahun belakangan.
Rasa malu masih menjadi hantu bergentayangan dalam pikiran. Begitupula rasa bangga bisa menjadi obat jiwa di kala hidup dunia dilanda duka nestapa.
Keterikatan emosional dengan saudara memang hal yang mesti dipelihara. Hanya saja, opini miring mereka menentukan keputusan kita. Wajar adanya jika kami tidak bisa menentukan tujuan hidup sendiri. Kekurangan informasi menjadi alasan jika kami kurang mandiri. Sekaligus, kami masih belum tahu apa yang harus dilakukan di tanah yang subur ini.
Jika besok lusa anda masih melihat ketimpangan pendapatan antara desa dan kota, maka mohon pengertiannya karena kami pun tidak tahu harus melakukan apa. Maka dari itu, bantu desa dengan investasi di segala lini. Karena, hanya itulah cara agar manusia pribumi berdikari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H