Saya pikir, para orang tua harus tahu jika "gengsi" sebuah profesi tidak lagi diukur dari caranya berpakaian. Mungkin hanya saldo rekening yang menjadi ukuran global tentang gengsi sebuah profesi.
Para orang tua pun harus "ngeuh" jika profesi yang mengedepankan penampilan (bukan penghasilan) tidak harus menjadi pilihan utama.Â
Tidak ada salahnya jika memilih profesi yang lebih mengedepankan mencari penghasilan dibandingkan mengedepankan mencari kerapihan. Tren telah berubah sebagaimana zaman pun  telah banyak berubah.
Saya khawatir, jika itu menjadi alasan memilih pekerjaan, akan banyak anak muda yang memilih menganggur.Â
"Daripada bekerja tetapi jika tidak bisa menjadi pembeda, mending tidak kerja. Toh, sama saja," begitulah pikir mereka.Â
Bahaya jika pemuda berpikir demikian, pengangguran bisa merajalela. Jangankan berpikir tentang pembangunan, bangun dari tempat tidur pun enggan.
Memang, profesi bisa menjadi bentuk kebanggaan. Hal yang wajar jika dikejar.
Hanya saja, persepsi warga akan suatu hal dapat berubah seiring berjalannya waktu. Mungkin warga ibu kota tidak terlalu bangga dengan penampilan ketika memilih pekerjaan. Sebaliknya, kami warga pedesaan masih menjadikan penampilan sebagai indikator pilihan.
Hal yang perlu diketahui, sekat dunia secara geografis perlahan memudar ketika internet melanda. Saya pikir, persepsi akan sebuah profesi pun akan perlahan memudar. Kebanggaan akan bentuk pekerjaan akan berubah meskipun kemampuan finansial tidak banyak berubah.
Ingat, formalisasi profesi diperlukan demi pendataan agar dimudahkan ketika mengurus hal bersifat administrasi.Â
Perusahaan formal meskipun kecil tetap harus membayar pajak sebagai kontribusi dalam pembangunan bangsa. Bukan berarti formalisasi usaha selanjutnya formalisasi profesi mengharuskan pegawainya berpenampilan serba formal demi menjaga gengsi. Â