Saya sendiri menganggap jika membanggakan orang tua masih bersifat abstrak. Tidak ada ukuran jelas bagaimana bentuk kebanggaan yang dimaksud. Apalagi jika kebanggan orang tua berbeda dengan kebanggan anak. Kebanggaan tidak seperti kekayaan yang bisa dihitung dengan angka.
Berbeda budaya maka berbeda pula bentuk kebanggaan itu. Orang tua saya tidak suka jika anaknya menjadi seniman atau olahragawan. Prestasi pada dua bidang itu sepertinya tidak bisa disebut kebanggaan. Orang tua saya selalu ingin anaknya memiliki prestasi di bidang akademik. Sekolah yang tinggi, mengoleksi ijazah sebanyak yang kita bisa.
Namun, bagi keluarga penyuka seni dan olahraga mendorong anaknya di bidang itu akan menjadi kebanggaan. Bahkan, membiayai segala kegiatannya. Bila perlu, belajar pun mengikuti homescholling agar bisa menyesuaikan dengan jadwal pementasan atau perlombaan.
Lantas, jika kebanggan orang tua itu masih sulit didefinisikan maka perlukah untuk diperjuangkan? Andaikan kebanggan orang tua sama dengan kebanggan anda sebagai anak, mungkin tidak akan masalah malah menjadi pendorong. Apabila kebanggaan orang tua berbeda dengan kebanggaan anak, bukankah itu hanya menjadi beban?
***
Mereka yang tidak mengikuti persepsi orang banyak bukan berarti buruk. Hanya ingin meniti jalan berbeda.
Andaikan saya dengan anda berbeda, wajar karena kita berada di belahan dunia berbeda. Bahkan berbeda dengan tetangga pun lumrah saja karena input pengetahuan berbeda. Hal terpenting, tidak melanggar norma karena itu kesepakatan bersama.
Ups, apakah tidak membanggakan orang tua sudah melanggar norma?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H