Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Bekerja Sambil Bicara, Kebiasaan Kami yang Sulit Hilang

20 Oktober 2022   06:14 Diperbarui: 20 Oktober 2022   06:22 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika anda pengusaha yang masih bertanya-tanya kenapa karyawannya banyak bicara ketika bekerja, mungkin tulisan ini bisa memberikan penjelasan. Apalagi, jika anda investor dari luar negeri kemudian mendapati jika karyawan di sini suka sekali ngobrol ketika bekerja.

Perlu dipahami, apabila karyawan anda berasal dari daerah pedesaan. Sudah menjadi kebiasaan jika kami bekerja sambil bercengkrama.

Bayangkan keaadan di pedesaan yang minim kebisingan. Ibu-ibu pergi ke sawah atau kebun untuk bercocok tanam. Jika musim tanam tiba, para ibu beramai-ramai pergi ke sawah dan ladang. Embun tidak menghalangi kaki untuk melangkah. Kabut tidak menghalangi mata untuk terus memandang ke depan.

Tentu saja, karena minim kebisingan maka para ibu terpikat untuk meniru para burung. Berkicau tanpa henti ketika pagi. Ketika tangan memegang alat pertanian, mulut masih asyik membicarakan kelakuan tetangga yang tidak tahu etika.

Apabila waktu makan tiba, maka mulut tak akan berhenti bicara. Ketika mengunyah pun mulut masih tetap bersuara. Tidak mau kalah nyaring dengan hembusan angin yang menerpa dedaunan.

Hal yang dibicarakan tentu saja bukan masalah yang ada di depan mata. Bukan pula masalah negara yang jauh dari jangkauannya. Di depan mata, suasananya "begitu-begitu saja" dan nyaris membosankan. Pola alami kehidupan di persawahan atau perkebunan sudah dapat ditebak bagaimana awal dan akhirnya.

Karena suasana yang kurang dinamis itulah, manusia desa, mewarnai hari dengan obrolan yang membawa suasana harmonis. Kerinduan pada "kebisingan" itu tetap ada. Walaupun dengan kadar seperlunya saja.

***

Tidak jauh beda dengan ibu-ibu, bapa-bapa yang bekerja di tempat lain juga begitu. Misalkan, anda berkunjung ke suatu desa. Mendapati ada pembangunan rumah atau pembangunan irigasi.

Tidak usah heran jika bapa-bapa berteriak ketika sedang bekerja. Mungkin hanya teriakan meledek temannya atau sekedar bercanda. Jika tidak mengeluarkan suara, bibir rasanya gatal untuk bergetar. Hanya sebatang roko yang bisa membungkam mulut bapa-bapa.

Jika anda dikenal oleh mereka, tidak usah heran jika disapa meskipun masih jauh. Terkesan berteriak namun itu bentuk keakraban. Jika itu dianggap mengganggu konsentrasi, maka buat kami itu bentuk pengakraban diri.

Bahkan, untuk sebagian orang bicara sambil bekerja itu sebagai cara untuk melupakan beban kerja. Seorang pemuda yang sedang mencangkul di sawah bisa menjadi seseorang yang paling banyak bicara karena dia merasa jika pekerjaan itu adalah beban terberat dalam hidupnya. Semua dilakukan karena terpaksa oleh keadaan.

***

Andaikan si pemuda datang ke kota, tentu saja dia sulit menghilangkan kebiasaannya banyak bicara ketika bekerja. Mungkin tidak sadar jika budaya kerja di desa tidak bisa diterapkan di perusahaan. Ada kebiasaan yang terbawa begitu saja tanpa sebuah persiapan sebelumnya.

Sebenarnya, bagi kami, banyak bicara melepaskan stress. Walaupun bagi atasan, atau pekerja kelas menengah, banyak bicara malah menambah stress. Terlebih, tema pembicaraan tidak jauh dari masalah keluarga yang berkutat dalam hal kesulitan memenuhi kebutuhan.

Untuk pekerjaan yang menuntut "nol keberisikan" kami bisa memahami. Wajar jika menejer perusahaan membagikan masker agar bisa dijadikan "penutup mulut".

Namun, untuk pekerjaan yang "membolehkan keberisikan" cara itu kurang bijak. Menutup mulut hampir sama dengan menutup selokan dengan sampah ketika hujan deras. Bisa meluap.

Kalau banjir, air yang meluap. Kalau kami, ya emosi yang meluap. Mending kalau terkendali, kalau tidak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun