Jika anda dikenal oleh mereka, tidak usah heran jika disapa meskipun masih jauh. Terkesan berteriak namun itu bentuk keakraban. Jika itu dianggap mengganggu konsentrasi, maka buat kami itu bentuk pengakraban diri.
Bahkan, untuk sebagian orang bicara sambil bekerja itu sebagai cara untuk melupakan beban kerja. Seorang pemuda yang sedang mencangkul di sawah bisa menjadi seseorang yang paling banyak bicara karena dia merasa jika pekerjaan itu adalah beban terberat dalam hidupnya. Semua dilakukan karena terpaksa oleh keadaan.
***
Andaikan si pemuda datang ke kota, tentu saja dia sulit menghilangkan kebiasaannya banyak bicara ketika bekerja. Mungkin tidak sadar jika budaya kerja di desa tidak bisa diterapkan di perusahaan. Ada kebiasaan yang terbawa begitu saja tanpa sebuah persiapan sebelumnya.
Sebenarnya, bagi kami, banyak bicara melepaskan stress. Walaupun bagi atasan, atau pekerja kelas menengah, banyak bicara malah menambah stress. Terlebih, tema pembicaraan tidak jauh dari masalah keluarga yang berkutat dalam hal kesulitan memenuhi kebutuhan.
Untuk pekerjaan yang menuntut "nol keberisikan" kami bisa memahami. Wajar jika menejer perusahaan membagikan masker agar bisa dijadikan "penutup mulut".
Namun, untuk pekerjaan yang "membolehkan keberisikan" cara itu kurang bijak. Menutup mulut hampir sama dengan menutup selokan dengan sampah ketika hujan deras. Bisa meluap.
Kalau banjir, air yang meluap. Kalau kami, ya emosi yang meluap. Mending kalau terkendali, kalau tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H