Saya hanya mengajak untuk memikirkan penggolongan konsumen tidak semata berdasarkan demografi. Memang hal itu yang tampak di permukaan. Namun, ada banyak produk _seperti hiburan_ tidak semata didasarkan pada objek yang kasat mata.
Selera manusia itu adalah bagian dalam diri manusia. Kita harus menanyai manusia satu per satu untuk mengetahui hal demikian.
Saat ini, berdagang tidak seperti menangkap ikan di lautan dengan jala. Melemparkan jaring begitu saja sehingga ikan apa pun bisa terperangkap.
Tapi, adakalanya berjualan itu seperti memancing. Digunakan umpan yang "cocok" dengan jenis ikan yang kita ingin tangkap. Walaupun membutuhkan kesabaran ekstra dalam melakoninya.
***
Meskipun sedikit, kami membutuhkan pelayanan untuk kepuasan selera. Tidak hanya kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, kepuasan akan selera juga harus terpenuhi.
Karena jangkauan yang jauh, usaha untuk pemenuhan selera itu nyaris terabaikan. Menonton film favorit tidak bisa karena jauh dari bioskop. Menyaksikan konser artis ternama kesulitan karena masalah transportasi dan akomodasi.
Makanya, internet menjadi jawaban dari keresahan itu. Seperti oase di padang pasir, cukup untuk memuaskan rasa haus akan aktualisasi diri.
Saran saya, para pemasar harus menyasar potensi pasar baru hingga ke desa. Tidak usah menjadikan domisili dan penghasilan sebagai kriteria calon pelanggan. Berfokuslah pada selera.
Tentu saja mudah membaca selera orang di era media sosial. Google pun sanggup membaca selera penggunanya. Maka sudah selayaknya para telemarketing menjangkau orang-orang yang memiliki "frekuensi" sama dengan produk yang ditawarkan.
Bukan hanya produk hiburan di layar ponsel, bahkan barang riil yang bisa disentuh pun bisa berdasarkan selera. Coba bayangkan, jika orang desa pun bisa memiliki selera layaknya opa-opa Korea karena kuatnya media massa mempengaruhi pola pikirnya.