Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Ada Ladang Gandum, Setiap Hari Makan Gandum

20 Juli 2022   06:09 Diperbarui: 20 Juli 2022   07:46 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sendiri heran kenapa lidah begitu sulit untuk melupakan rasa tepung gandum. Apakah itu dikarenakan sejak kecil sudah terbiasa atau "dibiasakan" untuk makan terigu?

Bukan makan roti gandum atau hamburger tetapi hampir setiap hari saya makan "gorengan". Begitu renyah di lidah sehingga sulit rasanya melupakan makanan yang satu ini. Mungkin karena harganya murah dan mudah didapat sehingga pilihan akan selalu mengacu pada bahan makanan itu.

Gandum menjadi bahan pangan impor yang telah menjadi bagian dari budaya kami. Hal yang bisa diterima jika nasi sudah menjadi bagian dari keseharian. Padi ditanam di sekitar rumah.

Namun, sulit diterima akal ketika bahan pangan yang didatangkan jauh dari negeri orang malah menjadi bagian dari budaya yang sulit ditanggalkan. Lebih baik antri untuk membeli minyak goreng daripada harus berhenti makan gorengan.

Selain gorengan, mie instan juga sudah menjadi bagian dari budaya makan. Tidak ada persediaan mie instan rasanya tidak nyaman perasaan. Apalagi kalau malam hujan deras, setidaknya ada mie instan yang bisa menghangatkan badan.

Entah kenapa kita begitu tergantung pada mie instan. Ada bencana pun sumbangan mie instan bisa menumpuk. Apalagi dalam keadaan bahagia dan lupa jika makan berlebihan bisa mengganggu kesehatan.

***

Jika Presiden berupaya mengamankan pasokan gandum, bisa dimengerti. Rakyat negerinya tidak akan sanggup menjauh dari terigu.

Presiden tahu jika kemarahan rakyat bukan berpangkal pada nilai tukar dollar. Kemarahan terbesar rakyat masih bergantung pada masalah makanan.

Kami tidak terlalu peduli apakah makanan itu impor atau produk dalam negeri. Hal yang terpenting adalah memperolehnya dengan mudah. Ketika datang ke warung dekat rumah, bisa dibeli dengan harga murah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun