Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ambisi Menjadi Tokoh Masyarakat

22 Juni 2022   06:44 Diperbarui: 22 Juni 2022   06:59 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukanlah fenomena baru ketika kita menyaksikan seseorang begitu berambisi menjadi seorang tokoh masyarakat. Saya tidak sedang membicarakan fenomena musiman lima tahunan ketika Pemilu menjelang. Tapi, fenomena yang berlangsung sepanjang zaman.

Coba perhatikan, biasanya ada seseorang diantara warga di sekitar lingkungan tempat Anda tinggal individu yang ingin terlihat "paling penting". Dia menjadi seseorang yang berusaha mengendalikan keadaan. Bahkan, berusaha sekuat tenaga untuk mencapai posisi demikian.

Dalam masyarakat pedesaan yang masih guyub, menjadi tetua adat atau pemangku agama biasanya menjadi sosok yang dituakan dan dihormati. Bahkan ketokohan mereka bisa melebihi seorang kepala desa yang diangkat secara formal.

Namun, dalam masyarakat yang "kurang guyub" konsep tetua adat dan ketokohan kurang mendapat tempat. Sebagaimana yang terjadi di desa-desa peralihan dimana adat-istiadat leluhur sudah pudar.

Nah, dalam masyarakat yang demikian ternyata masih ada yang memaksakan diri menjadi "tokoh masyarakat" sama persis seperti dalam masyarakat yang guyub. Padahal, ketokohan seperti demikian sudah tidak mendapat tempat.

Tokoh masyarakat di desa peralihan _seperti desa kami_ tidak timbul karena jabatan atau kepangkatan yang menempel pada dirinya. Kami sudah "terpapar" cara berpikir orang kota yang sangat mengedepankan prestasi. Tanpa karya, segala gelar di belakang nama hanya tinggal cerita.

Siapa yang memiliki prestasi maka dia yang akan diapresiasi. Meskipun orang itu memiliki potensi namun tanpa prestasi maka dia hanya akan menjadi warga kelas II dimana besok lusa masyarakat bisa lupa siapa dia. Lebih memprihatinkan, dia bisa turun menjadi warga kelas III karena tidak memiliki beda dengan yang lainnya.

***

Mungkin persepsi tentang "tokoh masyarakat" di desa peralihan berubah karena warga sudah menggunakan logika dalam berdemokrasi. Azas kebermanfaatan juga mempengaruhi cara kami menilik kondisi.

Kami masih menerima konsep "kelas" dalam masyarakat. Sesuatu yang realistis jika itu ada. Hanya saja, untuk naik kelas seseorang harus memperlihatkan karyanya. Apa yang bisa dia berikan kepada kita.

Jika dia bisa memberikan "sesuatu" pada kita maka kita pun akan memberikan "penghormatan" padanya. Terdengar seperti sebuah transaksi di pasar namun begitulah konsepnya apabila kehidupan ingin tetap berjalan.

Seperti kata pepatah, tidak ada makan siang gratis. Jika Anda ingin kami hargai maka hargai kami. Beri kami sesuatu yang bisa membuat kami berubah menuju taraf yang lebih baik.

Seorang pangeran putra mahkota tidak bisa serta menjadi raja menggantikan ayahnya. Dia harus membuat komitmen pada rakyatnya untuk membuat semuanya lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun