Pasar tradisional di desa kami benar-benar berdekatan dengan minimarket waralaba. Jaraknya hanya beberapa langkah saja.
Satu unit di seberang pasar. Satu lagi di sebelah kanan pasar, terhalang oleh sebuah bangunan. Dan, satunya lagi hanya berjarak kurang dari 50 langkah kaki orang dewasa berjalan.
Pasar "dikepung" minimarket waralaba mungkin terdengar berlebihan. Tapi, ya begitulah adanya. Pedagang kecil di pasar harus berhadapan langsung _head to head_ dengan pedagang besar yang memiliki jaringan seantero negeri.
Takut kalah bersaing?
Tidak juga, pedagang sudah biasa bersaing. Diantara sesama pedagang dalam satu kawasan pun sudah sering terjadi persaingan. Persaingan sehat tanpa kecurangan.
***
Persaingan adalah kata penting dalam perdagangan. Hanya saja persaingan dengan "amunisi" yang berbeda terkesan menjadi sebuah persaingan yang jomplang.
Minimarket waralaba bukan hanya kuat modal dan jaringan, namun mereka kuat juga dalam citra. Kenyamanan, keleluasaan dan kelengkapan, itulah yang dijual minimarket yang berwarna-warni seperti pelangi itu.
Dalam kacamata saya sebagai pembeli, persaingan diantara mereka itu seperti membeli ikan pada nelayan dengan perahu kecil. Karena perahunya kecil, si nelayan tidak memiliki banyak muatan. Sebagai pembeli pun menjadi tidak punya banyak pilihan.
Kemudian, tiba-tiba datang kapal besar datang membawa banyak muatan. Berbagai jenis ikan tertampung di lambung kapal. Mulai dari ikan teri hingga ikan hiu dibawanya. Ukurannya yang besar menimbulkan gelombang yang menghempas perahu kecil hingga menjauh dari pembeli potensial.
Sebagai pembeli, tentu saja saya akan menengok ke si kapal besar. Perahu kecil menjauh dari jangkauan, kapal besar menghampiri serta menawarkan banyak sekali pilihan.
Anda sendiri sepertinya tahu bagaimana nasib si nelayan kecil dengan perahunya yang terhempas gelombang.
***
Setahu saya, peraturan menjaga jarak ini sudah ada dalam peraturan daerah setempat. Setelah mencari di Google, saya menemukan peraturan Bupati yang mengatur pendirian toko swalayan waralaba. Di sana diatur jarak bahkan ukuran bangunannya. *)
Namun, terlepas dari ada atau tidak adanya peraturan persaingan model seperti ini hanya memperjelas siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai. Secara kasat mata, kawasan perdagangan di desa menjadi ramai oleh calon pembeli. Tapi, situasi itu semakin menegaskan jika "kekuatan modal" adalah corak ekonomi di negeri ini.
Modal bukan sesuatu yang buruk. Tetapi, ketika itu dipegang oleh orang yang "serakah" dan "tidak berperasaan" maka akan menjadi masalah besar.Â
Modal akan menjadi komponen layaknya senjata. Membunuh mereka yang lemah.
Hanya saja, kami para warga desa tidak mau mengeluh. Kami bukan tipe orang yang "kumeok memeh dipacok", begitulah kata peribahasa Sunda. Tidak mau menyerah sebelum bertanding.Â
Jika kami harus dipaksa berhadapan dengan para taipan yang memiliki "tangan" hingga ke pedesaan, ya silakan. Apabila desa hanya dijadikan tempat untuk memperluas kekuasaan maka kami menyambutnya dengan tangan terbuka. Sudah sejak lama warga desa hanya dijadikan objek pembangunan, kami sudah terbiasa.
Hal yang bisa dilakukan saat ini adalah mencari celah kesempatan agar mendapatkan keuntungan. Demi menutupi segala kebutuhan dan segala macam tuntutan kehidupan. Bukan nominal yang besar, hanya cukup untuk makan dan uang jajan.
Percaya atau tidak, kami _warga desa_ masih memandang  dalam nominal kecil itu masih ada keberkahan.Â
---------------
*)
https://jdih-dev.garutkab.go.id/produk/daerah/16524
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H