Jika tembok sekolah anda seperti foto di atas, mungkin sekali apa yang saya rasakan sama dengan apa yang anda rasakan. Merasa dibatasi.
Bermaksud baik, demi keamanan. Menjauhkan dari segala bentuk kejahatan. Hanya saja, buat orang seperti saya tembok benteng setinggi itu malah "menjauhkan" anak-anak sekolah dari realita di sekitarnya.
Baiklah, untuk alasan biaya dan kepraktisan maka tidak usahlah tembok benteng demikian dirobohkan. Namun, penghalang fisik dan pikiran harus segera dirobohkan.
Buat yang tinggal di desa, sekolah demikian seperti membatasi diri dari realita di sekitarnya. Seakan para penghuni sekolah itu berbicara, "hei kamu jangan ke sini, kamu berbeda." Atau sekolah seakan berkata, "apa yang terjadi di luar benteng tidak berarti apa-apa buat kami."
Buat siswa yang belajar di sana, kepakan sayap burung yang terbang bukan pengetahuan berguna. Karena mereka berada di luar benteng. Bagi murid yang belajar di sana, tumbuh kembang sebutir padi tidak berguna apa-apa. Itu dianggap sebagai pengetahuan kurang penting.
Buat sekolah demikian, ilmu pengetahuan yang penting adalah apa yang tertulis di buku. Hal yang belum tertulis hanya angin lalu.
***
Pengetahuan yang kami dapatkan bukanlah hasil dari dialektika antara murid dengan lingkungan sekitarnya. Kami diberi pengetahuan yang berasal dari sumber yang tidak diketahui. Buat kami, sekolah menimba ilmu "dari sana" bukan menggalinya "dari sini".
Terlebih, internet sudah sangat dekat dan melekat. Banjir informasi hingga lupa jika ada perubahan yang terjadi di sekitar kami.
Ketika berada di kelas, saya begitu bersemangat belajar tentang banyak hal. Nah, ketika sudah keluar dari gerbang maka kebingungan melanda. Â Tidak tahu bagaimana cara berdialog dengan kenyataan. Bingung juga ilmu mana yang harus diterapkan saat ini juga.
Kebingungan itu juga yang mendorong kami untuk pergi dari desa. Mencari pengalaman di perkotaan. Dalam waktu yang bersamaan, kami tidak menganggap masa kecil di desa sebagai pengalaman berharga. Berlalu begitu saja, tanpa makna.
Mungkin kebingungan itu tidak terlalu dirasakan bagi anda yang bersekolah di perkotaan. Ilmu dan realita sehari-hari masih saling bersinggungan.
Namun, ketidaksingkronan antara ilmu yang didapati dan realita yang ada menambah kebingungan begitu dirasakan. Kemana arah zaman bergerak tidak tahu karena bukan kami yang menjalankan.
Bukan karena tidak sanggup menjalankan kehidupan, karena kami kebingungan harus ke mana kemudi dikendalikan. Pengetahuan kami tidak bisa menjadi tuntunan.
Tidak usah heran ketika konsep inisiatif dari "bawah" susah didapatkan. Karena, kami tidak terbiasa berinisiatif. Harus selalu menunggu arahan dari "artas".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H