Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cara Pandang Elang sebagai Pijakan Bertindak

5 April 2022   05:34 Diperbarui: 5 April 2022   05:39 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin diantara kita masih sulit memisahkan kapan harus berpikir sangat teknis dan praktis serta kapan harus berpikir luas nan teoritis. Orang yang berpengetahuan luas malah bingung kapan dan dimana pengetahuannya digunakan. Sedangkan manusia dengan pengetahuan alakadarnya, masih menganggap tindakan praktis tidak perlu pertimbangan teoritis.

Saya mulai paham kenapa saudara-saudara saya di desa begitu berpikir praktis, jangka pendek serta berprasangka buruk pada manusia berpengetahuan. Saya coba memahaminya dengan bertindak dan berperilaku sama seperti mereka.

Diantara kami, masih melihat suatu keadaan semata dengan pertimbangan pengalaman yang terindera. Tidak mempertimbangkan hal yang lebih luas apalagi jangka panjang.

Contoh yang sering saya kemukakan adalah apa landasan pemikiran seseorang bercocok tanam. Orang desa biasa berpikir jika bertani bukanlah tindakan orang-orang yang berpengetahuan luas. Justru karena tidak melakukan hal lain, maka jadilah petani. Tentu saja petani tanpa teori terlebih tanpa pertimbangan jangka panjang.

Satu-satunya landasan pemikirannya adalah terpaksa karena tidak ada pekerjaan lain.

Ketika bangun pagi, membuka jendela maka yang terlihat hanyalah hamparan sawah nan luas. Tidak ada pabrik apalagi perkantoran.

Karena tidak lagi yang bisa dikerjakan maka menanam padi menjadi hal satu-satunya yang bisa dilakukan. Kalau menanam padi tidak dilakukan maka kami takut kelaparan. Itu sangat membahayakan.

Ada niat untuk meniru orang kota. Bekerja di pabrik atau perkantoran namun kesempatan itu tak kunjung datang. Karena keterbatasan jenjang pendidikan, minim pengetahuan dan kalah dalam persaingan. Terpaksa, hanya bisa tinggal di desa dengan kehidupan seadanya.

***

Saya sering menyaksikan seekor terbang melayang di angkasa. Dia cenderung terbang sendirian. Berputar-putar mencari mangsa dari ketinggian.

Seekor elang jarang sekali hinggap di pohon dekat perkampungan. Dia tidak akan terbang merendah sebelum yakin ada seekor anak ayam yang bisa dimangsa. Sungguh cara berburu yang penuh pertimbangan. Tidak serampangan.

Elang memiliki kemampuan untuk melihat wilayah luas dari ketinggian. Dia menimbang keadaan dari jarak jauh. Adakah di bawah sana seorang manusia yang bisa mengganggu kinerjanya atau seekor hewan pemangsa yang bisa menjadi pesaingnya.

Elang juga memiliki penglihatan tajam. Dia bisa melihat detail dari jarak jauh. Tahu jika mangsanya seekor anak ayam yang gemuk, kurus atau alot untuk dimakan.

Setahu saya, elang tidak pernah merasa ragu untuk melakukan tindakan. Dia akan memangsa buruannya ketika pertimbangan-pertimbangan itu sudah memenuhi harapannya. Karena keraguan bisa menghamburkan waktu dan tenaga yang sudah digunakan untuk terbang menjauh dari pegunungan yang menjadi tempatnya bersarang.

***

Memiliki landasan pemikiran yang luas belum menjadi bagian budaya kami di pedesaan. Tampaknya itupun belum menjadi budaya masyarakat kota.

Buktinya, masih banyak hal sederhana yang enggan dilakukan. Seperti, membuang sampah pada tempatnya. Padahal, landasan pemikiran luas untuk melakukan hal sederhana sangat berpengaruh besar pada kehidupan yang lebih luas.

Masih ada anggapan jika berpikir luas hanya tugas para akademisi dan politisi. Rakyat kecil masih menganggap dirinya kecil dan enggan untuk berpikir besar.

Saya melihat pola pikir demikian masih menjadi bagian dari budaya yang harus segera diubah. Bertindak praktis pun perlu landasan filosofis. Tanpanya, jangan heran jika tindakan praktis menjadi sebuah kesia-siaan. Tindakan praktis kurang berdampak jangka panjang. Jangankan pada masyarakat secara umum, pada dirinya sendiri pun dampaknya hanya sesaat.

Saya tahu jika kita perlu kemampuan untuk memilah kapan berpikir praktis dan kapan berpikir teoritis-filosofis. Sebagaimana elang, pikirannya bisa menentukan kapan menggunakan pola pikir meluas dan kapan pola pikir menyempit. Karena jika salah menempatkan akan dianggap sebagai manusia tukang "mengawang-awang" atau sebaliknya manusia "bersumbu pendek"

Saran saya, menggunakan kerendahan hati bisa memilah pengetahuan apa yang diperlukan untuk berpikir luas dan kapan berpikir praktis. Mudah dilihat kok, orang berpengetahuan luas tapi tidak mau bertindak praktis semata karena kesombongannya.

...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun