Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Matahari Tidak Kami Jauhi, Bagaimana dengan Anda?

24 Maret 2022   13:37 Diperbarui: 24 Maret 2022   13:39 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Akun Facebook dari Muhammad Yusuf Ansori

Sinar matahari begitu hangat menerpa kulit. Angin sepoi-sepoi membantu mengusir suhu udara yang mulai meninggi bila dibandingkan beberapa jam sebelumnya. Dan, di kala demikianlah para petani bekerja . Berlomba dengan burung yang mulai kelaparan mencari makan di pesawahan.

Bagi anda yang biasa bekerja di dalam ruangan, tentu saja akan menghindari sengatan sinar matahari. Terlebih, kalau jam sudah menunjukan angka 10 maka sinar matahari semakin menusuk ke pori-pori. Melihat cahayanya dari jendela pun enggan, apalagi berdiri di lapangan terbuka menyambut dia yang tengah perkasa menyinari alam raya.

Saya mengerti, tidak semua orang senang beraktifitas di luar ruangan. Apalagi ditambah dengan paparan sinar matahari dan suhu udara tinggi.

Tapi, ada juga orang-orang yang senang melakukan banyak hal di luar ruangan. Menyambut bintang terdekat dari dunia dengan alasan yang berbeda pada setiap orang. Apabila anda menghindari sengatan sinar matahari maka orang seperti kami cenderung "menikmati" kehangatannya.

Matahari menjadi perangsang untuk keluar dari tempat-tempat gelap di rumah masing-masing. Orang-orang seperti kami lebih mirip hewan pemangsa yang selalu terangsang untuk tetap bergerak. Dorongan  rohani lebih mendominasi dibandingkan keterbatasan fisik.

Berbanding terbalik dengan orang yang benci sinar matahari. Mereka seperti cacing yang enggan untuk ke luar dari lubang persembunyiannya. Atau, seperti kelelawar yang sanggup ke luar jika matahari tidak lagi menerangi bumi.

***

Apabila matahari tergelincir maka saat itulah petani sedang mengayunkan cangkulnya. Menancap hingga menghujam tanah kemudian mengolahnya hingga lebih gembur.

Mungkin anda baru membuka laptop atau mempersembahkan presentasi di hadapan relasi. Atau, masih menunggangi si kuda besi menuju tempat rekreasi. Berinteraksi dengan begitu banyak orang dengan tujuan yang berlainan.

Bagi petani, matahari cukup menjadi teman meskipun bekerja sendirian. Tanpa secangkir kopi di meja. Tanpa sepotong roti untuk sarapan pagi. Karena menu sarapan petani sama saja dengan makan di siang hari. Harus penuh dengan sumber energi.

Tidaklah heran jika petani adalah tipe penyendiri. Dia bekerja di lahan yang luas dan jauh dari sesama petani di lahan tetangga. Kalau bicara pun harus saling berteriak, meninggikan volume suara. Cara bicara kami terkesan keras meskipun sebenarnya petani sangat akrab dengan tatakrama. Bisa membedakan bagaimana bersikap pada sesama manusia, hewan dan tumbuhan.

Adakalanya jam dinding tak berguna. Kalender di meja bukan tempat menentukan jadwal kerja. Karena matahari adalah patokan waktu utama. Bekerja sesuai cuaca, musim dan tanpa perhitungan matematika.

Suasana hati tidak bisa menjadi patokan penentu motifasi. Bekerja karena patokan keharusan. Apabila mengikuti perasaan maka kalah bersaing dengan hama tanaman atau derasnya hujan. Kami tidak berlomba dengan deru kendaraan tapi berlomba dengan tekanan keadaan.

***

Bagi petani, matahari adalah sumber energi utama setelah air dan tanah. Tanpanya, apa yang ditanam hanya akan menjadi benda mati tak berguna.

Dengan sinar matahari, sebuah biji akan tumbuh kemudian berfotosintesis dan menghasilkan sumber pangan. Karena mataharilah hewan-hewan ternak bisa tumbuh sehat dan terhindar dari berbagai penyakit. Teori tentang berjemur untuk ketahanan tubuh sudah kami lakukan sejak manusia mengenal cara bertani.

Ketika sering terpapar sinar matahari, saya merasa bisa "berdialog" dengannya. Hal yang bisa dimengerti kenapa ada beberapa budaya yang menjadikan matahari sebagai sembahan atau simbol kehidupan. Karena, dengan matahari bumi menjadi lebih hidup. Tidak sunyi. Meskipun saya sering sendiri, tanpa ada manusia lain di tengah hamparan sawah yang sedang menghijau.

Jika bangsa Jepang membubuhkan matahari di benderanya, hal yang bisa dipahami. Karenanya, menyambut matahari menjadi pertanda mengawali hari demi berlanjutnya kehidupan.

Dalam budaya kita, mungkin juga budaya anda, matahari tidak menjadi "sosok" dominan untuk menggerakan kehidupan. Pikiran tidak dipenuhi dengan komponen-komponen alami yang sudah tercipta sejak lama. Malahan, materi yang dibuat oleh manusia menjadi sumber penggerak nurani. Hingga lupa jika alam raya ini akan berakhir suatu hari nanti ...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun