Bila Anda melihat foto di atas, semoga saja itu bukan yang terakhir kali. Saya berharap begitu, karena populasi burung itu tidaklah banyak di desa kami.
Suaranya yang nyaring di pagi hari, bisa membangunkan orang yang malas untuk bangun pagi. Mereka sering terbang melintas di atas atap rumah sambil riang bernyanyi dengan suaranya yang nyaring.
Bila anda membuka Google, tulis saja 'cekakak'. Sangat mungkin foto burung itu muncul.
Di desa kami _setahu saya_ masih ada 2 cekakak. Si biru-putih namanya Cekakak Sungai. Dan, si biru-merah namanya Cekakak Jawa. Kalau kami menyebutnya 'cukahkeh'.
Warna bulunya yang terang, mudah dikenali dari kejauhan. Apalagi jika sedang berkicau, suaranya yang keras memekakan telinga jelas berbeda dengan burung-burung sekitarnya.
Saya berharap jika burung ini masuk ke dalam daftar hewan yang dilindungi. Karena, populasinya yang tidak banyak di setiap daerah sangat mungkin hilang sama sekali dalam beberapa tahun ke depan. Â Dan, saya khawatir jika generasi nanti tidak bisa menikmati keindahan warna bulunya.
Dunia tidak memiliki cara untuk menyelamatkan dirinya dari kerakusan manusia. Dan, itu juga yang senantiasa menjadi perhatian saya dan mungkin juga Anda. Kita semua adalah makhluk yang senantiasa merasa apa yang ada di dunia adalah untuk kita. Saat ini juga. Â Tanpa banyak berpikir bahwa apa yang ada di dunia memang untuk manusia, disegala masa.
Sangat mungkin cekakak akan menjadi burung "katanya". Sebagaimana saya sering mendengar jika dahulu "katanya" banyak berbagai jenis burung berkeliaran di kampung. Warna-warni bulunya dan indah suaranya memang senantiasa menggoda manusia untuk menangkapnya. Sekedar memelihara kemudian mati tanpa regenerasi. Hilang.
Jika kita mau berbaik hati, burung-burung itu pun sebenarnya mau hidup berdampingan dengan kita. Tanpa saling mengganggu tetapi saling menjaga. Mereka tidak akan menjadi hama tetapi penjaga pola daur hidup dalam ekosistem dimana manusia belum tentu sanggup melakukannya.
Permasalahannya, apakah kita masih menganggap burung-burung cantik ini sebagai "kawan" atau "lawan". Atau, masihkah kita menganggap mereka sebagai sekawanan anugerah Tuhan yang sering kita lupakan.