Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mempertanyakan Kegunaan Informasi dan Pengetahuan

15 Juli 2020   07:00 Diperbarui: 15 Juli 2020   07:00 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi buku pribadi dimana isinya tidak sepenuhnya dipercayai. (Dokpri.)

Sedari kecil, saya tidak diberi tahu kenapa harus mempelajari pelajaran di sekolah. Mempelajari sesuatu semata karena 'arahan' orang dewasa dan tentu saja lebih sering 'memaksa'.

Ketika dewasa, saya sering kebingungan menghadapi kenyataan hidup. Kata orang tua, kalau tahu ilmunya problematika kehidupan itu bisa terselesaikan. Pertanyaannya, saya harus menggunakan ilmu yang mana?

***

Ilmu pengetahuan yang 'bejibun' di pikiran seperti menunggu untuk digunakan. Hanya saja, pikiran nampaknya tidak punya absensi untuk memanggil ilmu mana yang harus dikeluarkan. Otak ini mengingat banyak hal, tetapi tetap kebingungan dihadapkan pada kenyataan.

Apalagi, ketika internet sudah ada di genggaman pikiran sulit membedakan mana informasi dan ilmu pengetahuan. Bagi saya, kata-kata yang tertulis di linimasa nampak sama saja.

Jika ada seorang 'pengamat' mengatakan sesuatu di media massa, saya jadi bertanya-tanya apakah ini ilmu pengetahuan atau opini belaka. Dalam hati berkata, "kalau sekedar opini sih saya juga bisa..."

Derasnya informasi yang mengalir ke pikiran belum tentu jadi sumber rujukan untuk dijadikan dasar pijakan dalam bertindak. Saya yang tinggal di desa, ketika menemukan artikel tentang "pembangunan pedesaan" harus kembali mempertanyakan apakah teori yang ditulisnya sesuai dengan kebutuhan saya. Timbul kecurigaan, jika apa yang ditulis hanya menggiring pada keselarasan pikiran pada kelas masyarakat yang 'dominan'.

Tidak seperti belajar agama, yang bersifat dogma, ilmu yang bersifat duniawi perlu dipertanyakan kembali relevansinya dengan kebutuhan kehidupan sehari-hari. Saya tidak percaya jika ilmu pengetahuan bersifat netral dan bebas nilai.

Ternyata, sebuah teori sains sering menjadi perdebatan hingga siapa yang pertama kali mencetuskannya. Teori evolusi Darwin yang saya kenal sejak SMP, malah dipertanyakan 'apakah Charles Darwin percaya pada Tuhan?'.

***

Saya punya hobi membaca buku yang tradisional hingga buku digital. Darinya, banyak pengetahuan. Tetapi, pada akhirnya saya tidak terlalu menganggap semuanya 'serius'.

Pengetahuan yang didapatkan dari bahan bacaan kembali dipilah dan dipilih. Apa kegunaannya buat saya?

Saya mencoba menyanggah pepatah orang tua "carilah ilmu sebanyak mungkin" menjadi "pilihlah ilmu setepat mungkin".

Kata orang Sunda, "elmu mah moal berat mamawa". Artinya, ilmu tidak berat untuk dibawa. Maksudnya, bagus kalau banyak ilmu.

Ya, ketika Google sudah digenggaman ilmu itu memang banyak didapat otak pun jadi penat. Hanya saja, pikiran pun jadi kebingungan mana yang berfaedah dan mana 'sampah'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun