Mendengar kata itu agak ngeri bagi yang paham ekonomi. Tapi, bagi kami yang tinggal jauh dari Ibu Kota hanya membayangkan kalau mencari uang itu akan semakin susah.
***
Katanya, jutaan orang kehilangan pekerjaan dikala pandemi menghadang. Kami di desa, menyambut pengelana dari kota yang 'nyaris tidak membawa apa-apa', kere.
Para pencari kemakmuran dari pedalaman nampaknya mengalami banyak kegagalan karena situasi yang tidak berkenan. Pedagang kecil hingga besar sekelas pusat perbelanjaan mengalami penurunan penjualan. Pabrik berhenti beroperasi dan ujungnya daya beli menurun padahal kemarin Idul Fitri. Dimana, tahun sebelumnya dianggap sebagai 'panen raya' para pengusaha.
Ketika kesulitan merembet ke mana-mana maka bukan hanya dompet yang tidak lagi tebal tapi juga menjalar hingga ke mental. Setidaknya, begitulah keluhan tetangga yang baru pulang kampung dari kota tempat mencari nafkah. Pandemi bikin sepi.
Ketika Lebaran sebagai ajang "pamer kekayaan" maka kali ini sudah tidak bisa lagi. Hanya anaknya saja yang dibelikan 'baju lebaran', Ibu-Bapanya mengalah saja.
Jangankan pamer kekayaan, uang yang adapun belum tentu cukup untuk beberapa bulan ke depan. Dan, ketika situasi seperti itu maka 'kekhawatiran' bahkan 'ketakutan' wajar menghampiri. Apalagi jika akhir bulan nanti, tagihan ini-itu mulai menghantui.
***
Saya membaca beberapa buku motivasi legendaris yang terbit hampir seabad lalu. Ternyata, buku laris itu masih relevan meskipun berganti zaman.
Di antara yang pernah saya baca adalah karya Napoleon Hill seperti Think and Growth Rich. Katanya, buku itu laku ketika depresi besar melanda Amerika tahun 1930-an. Bisa dimengerti, karena saat itu banyak sekali orang yang membutuhkan motivasi.
Di tengah hidup yang serba tidak pasti, buku motivasi bisa menjadi obat 'penenang' meskipun lingkungan sekitar 'tegang'. Buku-buku motivasi membawa kita pada cara berpikir baru ketika yang lama diharuskan untuk berubah.
Bukan kita yang ingin berubah, tetapi keadaan yang memaksa. Bagaimana menyikapinya, tidaklah mudah.
Apalagi, memprediksi masa depan yang belum tentu mapan tidak dimiliki semua orang. Kita bukan cenayang. Tapi, kita semua adalah manusia yang dituntut untuk membangun masa depan yang mapan.
(Diolah dari berbagai sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H