Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aspek Religius Dijadikan Alasan Tidak Menjaga Lingkungan

1 Januari 2020   20:03 Diperbarui: 1 Januari 2020   20:05 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Rajin sholat, kok masih buang sampah sembarangan?"

Pertanyaan itu yang selalu menggelayut di pikiran saya ketika memperhatikan orang-orang di sekitar. Ketika membicarakan neraka nampaknya ketakutan karena bisa menjadi penghuninya. Tetapi, ketika membicarakan dunia nampak tidak suka karena dianggap terlalu pelik rasanya.

Ketakutan akan masuk neraka membuat orang menjadi rajin melakukan ritual keagamaan. Apabila waktu sholat tiba, kami berbondong-bondong pergi ke masjid. Melewatkannya, bisa dianggap melawan "bahaya".

Di sisi lain, nampaknya tidak ada ketakutan dalam diri ketika tidak bisa menjaga bumi tempatnya dilahirkan. Membuang sampah masih sembarangan. Musim hujan tiba, tentu saja kebanjiran.

"Bagi kami, melaksanakan ritual keagamaan dianggap jauh lebih penting dibanding melestarikan kehidupan ini. Kehidupan dunia dianggap fana, jadi biarkan saja dunia hancur dengan sendirinya."

Demi mencari kehidupan sejati, kami menjejali jiwa dengan puja-puji. Saking asyiknya, lupa pada tugas kami untuk mengurus kehidupan kami sendiri.

Bagi kami, bentuk ibadah adalah sebanyak-banyak pergi ke masjid dan berzikir. Kalau berpikir, ya tidak dianggap sebagai ibadah.

Karena jarang berpikir, akibatnya kami jarang berbuat. Perbuatan yang terbaik menurut versi kami adalah menyerahkan diri kepada Illahi. Jadi, kehidupan ini terserah Dia. Mau ada musibah atau berkah, ya terserah.

Ketika kebanjiran, kami anggap sebagai musibah. Jarang kami bermuhasabah_mawas diri. Kami selalu menganggap apa yang terjadi semata-mata kuasa Illahi. Manusia hanya dianggap sebagai bidak catur yang tidak bisa berbuat banyak mengatur kehidupan di bumi.

***

Ketika musim kemarau yang lalu, kami berdo'a semoga hujan segera turun menyiram bumi yang gersang. Kami hiasi tubuh dengan sorban dan peci berbagai corak agar terkesan semarak.

Setelah hujan tiba, sorban dan peci menghalangi kami untuk turun ke selokan membersihkan lumpur dan kotoran manusia yang menghambat aliran air. Kami ini "ahli ibadah", bukan ahli membersihkan selokan. Bagaimana jadinya kalau baju kami yang putih bersih ini terkena kotoran najis?

Kami merasa bukan tugas kami untuk melakukan itu, biar Pemerintah saja yang melakukannya.

Bagi kami, Pemerintah itu dzolim karena membiarkan rakyatnya sengsara. Mereka tidak bekerja untuk mengatasi banjir yang melanda. Sampah dimana-mana, sampai dibiarkan menumpuk di sungai dekat rumah.

Ketika sampah banyak menumpuk, kami foto dan disebarkan di media sosial. Kami do'akan agar Pemerintah kena sial dan tidak dipilih lagi di musim Pemilu nanti.

Ya, kami hanya pandai berdo'a. Termasuk berdo'a yang jelek pada Pemerintah yang tidak disuka.  

(Diolah dari berbagai sumber)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun