"Rajin sholat, kok masih buang sampah sembarangan?"
Pertanyaan itu yang selalu menggelayut di pikiran saya ketika memperhatikan orang-orang di sekitar. Ketika membicarakan neraka nampaknya ketakutan karena bisa menjadi penghuninya. Tetapi, ketika membicarakan dunia nampak tidak suka karena dianggap terlalu pelik rasanya.
Ketakutan akan masuk neraka membuat orang menjadi rajin melakukan ritual keagamaan. Apabila waktu sholat tiba, kami berbondong-bondong pergi ke masjid. Melewatkannya, bisa dianggap melawan "bahaya".
Di sisi lain, nampaknya tidak ada ketakutan dalam diri ketika tidak bisa menjaga bumi tempatnya dilahirkan. Membuang sampah masih sembarangan. Musim hujan tiba, tentu saja kebanjiran.
"Bagi kami, melaksanakan ritual keagamaan dianggap jauh lebih penting dibanding melestarikan kehidupan ini. Kehidupan dunia dianggap fana, jadi biarkan saja dunia hancur dengan sendirinya."
Demi mencari kehidupan sejati, kami menjejali jiwa dengan puja-puji. Saking asyiknya, lupa pada tugas kami untuk mengurus kehidupan kami sendiri.
Bagi kami, bentuk ibadah adalah sebanyak-banyak pergi ke masjid dan berzikir. Kalau berpikir, ya tidak dianggap sebagai ibadah.
Karena jarang berpikir, akibatnya kami jarang berbuat. Perbuatan yang terbaik menurut versi kami adalah menyerahkan diri kepada Illahi. Jadi, kehidupan ini terserah Dia. Mau ada musibah atau berkah, ya terserah.
Ketika kebanjiran, kami anggap sebagai musibah. Jarang kami bermuhasabah_mawas diri. Kami selalu menganggap apa yang terjadi semata-mata kuasa Illahi. Manusia hanya dianggap sebagai bidak catur yang tidak bisa berbuat banyak mengatur kehidupan di bumi.
***
Ketika musim kemarau yang lalu, kami berdo'a semoga hujan segera turun menyiram bumi yang gersang. Kami hiasi tubuh dengan sorban dan peci berbagai corak agar terkesan semarak.