Memalukan, lama-kelamaan bangsa ini menjadi  bangsa kerdil yang terlalu banyak berkutat dengan urusan perut. Seharusnya urusan makanan sudah terselesaikan kemudian kita bisa berpikir bagaimana terbang ke bulan ...
Saya berani menyatakan bahwa bangsa ini kurang bersyukur dan bangsa Amerika lebih banyak bersyukur. Bersyukur bukan hanya bicara "Alhamdulillah" tetapi juga bisa "memaksimalkan apa yang diberi Tuhan untuk kita".
Karena bangsa ini banyak menyia-nyiakan karunia Tuhan maka Dia pun mengganjar kita dengan kesulitan yang bertubi-tubi. Berawal dari masalah sepele yakni makanan.
Sampah berserakan dimana-mana. Menggunakan air dan tanah seenak saja karena dianggap barang 'murah'.
Kalau para ekonom berbicara tentang masalah impor pangan yang harus dihentikan, saya malah berpikir sebaliknya. Kita harus belajar banyak pada bangsa yang bisa mengekspor hasil pertaniannya hingga ke negeri "yang katanya agraris".
Kita mesti belajar hal yang filosofis terlebih dahulu sebelum hal teknis. Bagaimana Australia bisa mengekspor daging sapi hingga ke sini, Amerika bisa menjadi pemasok utama gandum dalam negeri, Â bahkan Thailand bisa mengirim buah-buahan ke supermarket di kota-kota besar Indonesia.
Berhenti Bicara Produksi Pertanian Tetapi Bicara Bagaimana Memanfaatkan yang Ada
Ini masalah pola pikir. Kalau kita terus menganggap remeh masalah pangan dan tidak menganggapnya sebagai bentuk rasa syukur, maka teknologi pertanian tidak akan banyak berarti.
Lho, kenapa teknologi menjadi tidak berarti?
Ya, berdasarkan pengalaman saya masalah pangan dan pertanian adalah masalah yang berhubungan dengan faktor nonteknis. Entah bagaimana penjelasannya, terkadang masalah cuaca dan gejolak harga yang diluar kendali manusia justru lebih dominan mempengaruhi.
Kalau kita mau berpikir bagaimana memanfaatkan alam karunia Tuhan dengan bijaksana maka saya yakin Tuhan pun akan menganugerahkan kemurahan hatinya dengan pangan yang berlimpah.
Amin.