ulama' menjadi sosok sangat menentukan arah politik. Peran sebagian dari mereka begitu merangsek ke dalam kerumunan para politisi.
Saya mulai bingung ketika orang yang disebut 'Ulama yang sebelumnya dikenal sebagai 'penengah' dalam masalah ummat kok saat ini menjadi penentu arah politik seseorang. Seberapa perannya dalam pembangunan ummat tidaklah menjadi ukuran, tetapi bisa jadi seberapa populerkah dia di media sosial.
Sangat disayangkan, ketika Ulama di kampung banyak yang tidak memiliki tempat di hati ummat karena dia tidak eksis di sosial media. Jangankan eksis didunia maya, berfoto pun masih jarang.
Kerendahan hati para Ulama, membuat mereka terkadang tidak mau disebut-sebut terlebih dikultuskan secara individu. Bekerja dalam keheningan, jauh dari hiruk pikuk.
Ulama, Simbol Yang Terzalimi
Pemerintah dan Ulama memang sering berbeda pendirian dalam banyak hal. Sayangnya, kalau Ulama yang dekat dengan penguasa maka akan disebut penjilat. Dan, orang yang bermusuhan dengan Pemerintah akan disebut terzalimi.
Nah, simbol yang terzalimi ini menjadi manusia yang mewakili perasaan orang-orang yang sama-sama terzalimi. Ulama bahkan menjadi pembakar semangat untuk melawan kezaliman itu.
Bagaimana kalau ada Ulama yang merasa tidak terzalimi? Ulama itu bersikap kompromi pada Pemerintah demi kebaikan ummat?
Saya jadi ingat salah satu film berjudul Argo. Settingnya di masa revolusi Iran sekitar tahun 1970-an. Orang-orang secara tegas berdiri di belakang Ayatulloh Khomeini adalah kaum revolusioner. Dan, yang berdiri di belakang raja dan sekutunya maka dia akan dianggap musuh.
Film yang diperankan oleh Ben Affleck tersebut, menjadi gambaran bahwa saat itu Ulama benar-benar sebagai simbol perlawanan. Walaupun, menurut beberapa sumber meyatakan bahwa waktu itu Khomeini berada di pengasingan, tepatnya di sebuah desa di Perancis.
Ulama saat itu memang memiliki peran politik yang sangat tegas ketika melawan pemerintahan yang zalim. Wajar, ketika dia berkuasa maka pikirannya memberikan solusi terobosan bahkan revolusioner.
Nah, apakah di Indonesia mirip dengan kondisi seperti itu? Apakah Ulama masih relevan sebagai simbol yang terzalimi?
Namun, kan masih banyak Ulama yang menjadi simbol pembangunan. Buya Hamka menjadi contoh riil bagaimana beliau menjadi simbol pembangunan ummat. Dibenci, mungkin banyak, tapi juga banyak yang mencintai.
Negara Menempatkan Ulama Dimana?
Dalam demokrasi di negeri ini, Ulama masih punya peran tetapi tidak sampai pada taraf 'menentukan' arah pembangunan. Ideologi yang dianut oleh negeri ini tidak bisa serta merta diubah oleh sesosok Ulama.
Ulama ditempatkan pada tempat 'terhormat' ketika bisa diajak bicara. Tapi, ketika Ulama banyak memanfaatkan keistimewaannya sebagai jalan mementingkan diri sendiri dan golongan, maka akan banyak yang menentang dan 'membungkamnya'.
Simbol keagamaan yang melekat pada Ulama itu tidak bisa diselewengkan begitu saja. Keistimewaan peran itu pun serta merta akan luntur bersama dengan lunturnya harapan ummat dan lunturnya kiprah Ulama di tengah ummat.
Sumber: wikipedia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H