Semakin hari bumi tidak semakin baik-baik saja. Suhu rata-rata global permukaan bumi meningkat 1,2 derajat celsius sejak revolusi industri. Studi terbaru menyebut suhu bumi tahunan diperkirakan naik 1,5 derajat celsius selama 5 tahun ke depan. Merujuk pada analisis Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebut, suhu permukaan global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 derajat celsius antara tahun 1990 hingga 2100.
Tragisnya, pada tahun 2050 diperkirakan permukaan laut akan naik drastis yang menyebabkan terjadinya badai ekstrim, banjir dan gelombang pasang akan memporak-porandakan kota-kota pesisir. Kairo, Alexandria, Shanghai, Mumbai, Bangkok, juga Jakarta sebagai kota pesisir padat penduduk diprediksi akan tenggelam.
Populasi dunia diperkirakan meningkat 9 miliar jiwa—2017 sebanyak 7,6 miliar jiwa, 2030 sebanyak 8,3 miliar jiwa, dan 2050 sebanyak 9,8 miliar jiwa. Nahasnya, miliaran manusia tersebut harus berhadapan dengan suhu bumi yang bisa mencapai 60 derajat celsius, pada suhu tersebut tubuh manusia bisa bertahan tak lebih dari 6 jam.
Pandemic dengan berbagai varian bergentayangan mengancam nyawa, hal ini dipicu oleh perubahan suhu, banjir, urbanisasi, serta pergerakan manusia ke berbagai wilayah dunia. World Health Organization (WHO) juga telah menyebut perubahan iklim merupakan ancaman terbesar kesehatan di abad ke 21.
Menyikapi hal tersebut, Presidensi Group of 20 (G20) Indonesia 2022 di Bali menawarkan tiga langkah konkrit untuk bersama-sama menyelamatkan bumi. Pertama, Energy Accessibility, akses energi yang terjangkau, berkelanjutan, dapat dijangkau, dan dapat diandalkan untuk semua. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam memfasilitasi akses ke penelitian dan teknologi energi bersih termasuk energi terbarukan, efisiensi energi dan teknologi bahan bakar fosil yang maju serta lebih bersih.
Kedua, Smart and Clean Energy Technology, yaitu untuk mendorong implementasi energi pintar dan bersih, baik dalam konteks efisiensi energi, pengurangan emisi, maupun pengembangan energi terbarukan.
Ketiga, Advancing Energy Financing, adalah pembiayaan yang perlu dilakukan untuk terwujudnya poin pertama dan kedua. Skema serta mekanisme pembiayaan perlu dikembangkan melalui kolaborasi semua pihak, baik itu pemerintah, dan swasta. Dalam hal ini filantropi juga bisa berperan banyak lewat model bisnis atau Public Private Partnership (PPP) yang inovatif.
Isu-isu penyelamatan bumi yang diangkat dalam G20 Indonesia 2022 memiliki tingkat urgensi yang tinggi, sehingga diperlukan tindakan segera dengan semangat kolaborasi dalam upaya transisi energi mulai dari sekarang. Bukankah heatwave (gelombang panas) yang kini sedang melanda Eropa dan telah merenggut 1.700-an nyawa adalah pertanda petaka yang diprediksi sesuai kajian ilmiah akan segera tiba jika tanpa sama-sama bumi kita jaga? Tercatat, heatwave yang terjadi tahun ini adalah suhu terpanas dalam sejarah, lantas bagaimana dengan suhu bumi 10, 20, 30 bahkan 100 tahun kedepan?
Mangrove dan sejuta penawar untuk bumi
Gudang penyimpanan karbon terbesar di muka bumi berada pada kawasan ekosistem karbon biru pesisir. Jika dibandingkan dengan ekosistem daratan manapun—termasuk hutan boreal dan tropis—ekosistem karbon biru pesisir disinyalir mampu menangkap serta menyimpan kelebihan karbon di atmosfer dengan serapan 20 kali lebih besar.
Para ahli dari Center for International Forestry Research (CIFOR) dan USDA Forest Service menyebut, diperlukannya budidaya dan penjagaan hutan mangrove untuk melindungi bumi dari perubahan iklim.Mangrove sebagai tanaman dikotil yang hidup di habitat air payau dan air laut memiliki peran penting dalam menghasilkan karbon biru (blue carbon). Untuk diketahui, ekosistem pesisir menyerap karbon dari atmosfer bumi, karbon yang disimpan oleh ekosistem pesisir ini kemudian dinamakan blue carbon.
Mangrove sebagai tanaman yang hidup berkelompok dalam jumlah yang banyak serta memiliki akar jari-jari juga berperan menahan abrasi laut yang terus mengancam daratan lewat pemanasan global. Studi menyebut, hutan mangrove yang masuk dalam kategori hutan basah mampu menyimpan karbon 800 sampai 1.200 ton per hektar. Hutan mangrove melepas karbon lebih sedikit ke udara jika dibandingkan dengan hutan di daratan, jika pun menuai kematian mangrove hanya akan melepaskan 50 persen karbonnya ke udara.
Indonesia memiliki 3,7 persen hutan mangrove jika dibandingkan dengan luas hutan tutupan. Hutan mangrove dunia berkisar 1 persen dari luas hutan tropis, padahal kontribusi penyerapan karbon oleh hutan mangrove lebih tinggi jika dibandingkan dengan serapan karbon hutan tropis.
Atas dasar ini, Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam G20 harus mengampanyekan pada dunia akan pentingnya hutan mangrove. Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua (setelah Kanada) di dunia Indonesia juga harus memperlihatkan tindakan nyata penyelamatan bumi dengan penanam mangrove.
Pada beberapa wilayah pantai di Indonesia sudah mulai menggalakkan penanam hutan mangrove. Dari Aceh hingga Papua kita bisa dengan mudah menemukan tanaman mangrove di pesisir pantai, walau tak semuanya masuk dalam kategori hutan (luas). Aceh contohnya, terkenal dengan hutan mangrove di Kota Langsa dengan luas 8.000 hektar. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, Sandiaga Salahuddin Uno dalam kunjungannya pada 15 April 2022 menyebut hutan mangrove Kota Langsa sebagai pabrik oksigen terbesar di Asia Tenggara.
Bukan hal mudah untuk malaksanakan cita-cita mulia nan besar tersebut. Mitigasi perubahan iklim melalui sektor pengelolaan mangrove perlu penganggaran yang matang, mulai dari daerah, nasional, bahkan internasional juga berhak atas pendanaan untuk sama-sama menyelamatkan bumi. Negara-negara industri global harus berada di garda terdepan dalam hal pembiayaan, menyalurkan dana untuk budidaya hutan mangrove di negara-negara tropis.
Protokol Kyoto tahun 1997 telah mengatur perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan. Pencemaran lingkungan oleh suatu pabrik perusahaan kini bersifat terbatas dan eklusif. Bagi perusahaan yang melakukan pencemaran melewati batas yang telah ditentukan maka diwajibkan menerapkan metode clean development mechanism yaitu dengan membuat proyek ramah lingkungan di negara berkembang. Salah satu proyeknya bisa berupa menginvestasikan dana untuk mencegah kerusakan serta membudidaya hutan di negara penghasil karbon.
Di samping mengharapkan pendanaan-pendanaan yang kontinyu dari dunia Internasional, Bank Indonesia yang mengatasnamakan negara Indonesia kiranya bisa berperan besar dalam hal pendanaan budidaya hutan mangrove. Keterlibatan Bank Indonesia adalah sebagai bentuk kepedulian merawat nama Indonesia sebagai negara dengan hutan mangrove terluas di dunia.
Sebagai tawaran, pendanaan yang dapat dirancang oleh Bank Indonesia bisa berupa; Pertama, bekerja sama dengan lembaga-lembaga lingkungan hidup, dinas dan kementerian terkait untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya mangrove sebagai blue carbon.
Kedua, memberikan pendanaan kepada filantropi, kelompok nelayan, atau masyarakat pesisir yang sudah memiliki atau akan memiliki lahan hutan mangrove, kalkulasi pendanaan merujuk pada luas lahan dijumlahkan dengan jumlah karbon yang dihasilkan. Petani akan terus didanai sepanjang hutan mangrove yang dikelolanya terawat dengan baik.
Indonesia Maju melalui Investasi Hijau ini turut berdampak pada perekonomian masyarakat pesisir dengan raupan keuntungan dari hasil penjualan karbon, seraya para nelayan juga diuntungkan dari hasil tangkap laut yang berlimpah berupa ikan, udang, kepiting, serta biota laut lainnya yang hidup di kawasan hutan mangrove.
Anggaran untuk rehabilitasi hutan mangrove dirasa perlu untuk mencegah deforestasi (penggundulan) yang terjadi karena aktifitas konservasi lahan mangrove untuk lokasi tambak ikan, tambak garam, pertanian, pemukiman, penambangan, logging, industri, dan bencana alam. Para petani tambak juga nelayan pastinya akan gemar menanam mangrove sebab terdapat keuntungan nilai ekonomis pribadi dalamnya. Sedangkan bagi daerah keuntungan bisa diraih lewat sektor pariwisata hutan mangrove. Dan pastinya penduduk planet bumi juga mendapatkan keuntungan atas pengurangan karbon.
Projek hutan mangrove sebagai lahan karbon harus segera diaplikasikan, baik di Indonesia maupun negara-negara yang memiliki garis pantai. Indonesia sebagai tuan rumah Presidensi G20 tahun 2022 diyakini mampu menjadi role model dalam mitigasi perubahan iklim, salah satunya melalui hutan mangrove. Bumi harus sesegera mungkin diselamatkan, agar peradaban manusia terus bisa berlanjut, “Pulih Bersama serta Tumbuh Lebih Kuat dan Berkelanjutan”. Tentu saja.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H