Kepulauan Indonesia secara geografis merupakan jalur strategis dalam pelayaran yang menghubungkan dunia barat dan timur. Kapal-kapal para pedagang luar banyak melempar sauh dan berlabuh di berbagai kepulauan di Indonesia, inilah ihwal jalur perdagangan Indonesia menjadi jalur pelayaran ter sibuk tempo dulu.
Bukan tidak beralasan Indonesia dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai penjuru dunia, alasan historis yang sudah tidak asing lagi terdengar adalah dikarenakan Indonesia (Nusantara ketika itu) memiliki rempah sebagai komoditas pemikat bagi dunia. Kegunaan rempah ini sendiri dipergunakan untuk obat-obatan, bumbu masakan, serta untuk pengawetan makanan (dikarenakan pada musim dingin Eropa harus menyembelih semua binatang ternak, dan dagingnya diawetkan dengan rempah) bahkan mumi pada masa Mesir kuno diyakini diawetkan dengan rempah-rempah Nusantara.
Kegunaan rempah yang cukup vital bagi masyarakat dunia menyebabkan harga rempah di pasar Eropa sama dengan harga emas, sehingga timbul semboyan rempah sebagai "Emas Hitam dari Timur". Analoginya, segenggam rempah senilai dengan harga segenggam emas. Maka berlomba-lombalah bangsa Barat memburu rempah ke Nusantara dengan cara berdagang bahkan secara ekspansi kolonialisme.
Maluku Utara dinobatkan sebagai pusat dari rempah Nusantara, dengan hadirnya empat kerajaan besar sebagai bandar niaga; Ternate, Tidore, Jailolo, dan Makian. Dan Maluku Utara sendiri merupakan wilayah penghasil cengkeh nomor wahid di dunia.
Aceh kala itu juga tidak kalah dilirik pedagang dan negara kolonial, dengan komoditi rempah andalan berupa lada. Kekayaan lada di Aceh dapat disangkut pautkan dengan pepatah “troh kapai pula lada” (ketika kapal sudah merapat ke pelabuhan baru kita tanam lada). Persebaran lada di Aceh hampir menyeluruh, seperti halnya Aceh timur, Aceh Utara, Aceh Besar dan beberapa wilayah lainnya. Maluku Utara dan Aceh hanyalah contoh saja dari banyaknya daerah di Indonesia yang menghasilkan rempah, sehingga timbul pula semboyan The Spice Islands (pulau rempah-rempah) untuk Nusantara.
Pandemi dan rempah sebagai penangkal
Bumi sekarang sedang sakit, Coronavirus 2019 atau juga dikenal dengan COVID 19 seakan melumpuhkan aktivitas manusia di muka bumi, virus ini dikategorikan pandemi. Ilmuwan dunia kini sedang bersusah payah mencari vaksin penyembuh untuk virus mematikan tersebut, namun tampaknya belum juga membuahkan hasil yang 'menggembirakan' bagi kesembuhan bumi. Penyebaran virus ini cukup masif dan telah dinyatakan tiba di Indonesia pada 03/03/2020 (Kompas.com), dan sampai dengan 21/04/20 saja telah menjangkit 7.135 jiwa dan merenggut 616 nyawa penduduk Indonesia. Diakui atau tidak, virus ini menjadi momok yang menakutkan bagi siapa saja, ia akan melahap si kaya dan si miskin, si berpangkat dan si tidak berpangkat.
Menilik ke belakang mengenai pandemi yang pernah menyerang bumi sebelum corona. Kasus penyebaran penyakit pes dikarenakan bakteri Yersinia Pestis pertama sekali muncul pada tahun 542 Masehi di Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Romawi. Pandemi ini diberi nama Plague of Justinian, sesuai dengan nama kaisar Romawi yang berkuasa pada saat itu, Justinianus I. Plague of Justinian menyebar ke kawasan Afrika Utara, Timur Tengah, dan Eropa.
Konstantinopel merupakan kota termakmur dan terbesar di Eropa kala itu. Afrika Utara mengekspor berbagai komoditi ke Konstantinopel seperti kertas, minyak, gading, budak, hingga beras yang menjadi sarang favorit tikus dan kutu. Sesampainya di Konstantinopel tikus-tikus ini memasuki wilayah-wilayah kerajaan, yang menyebabkan kaisar pun terserang virus tersebut, beruntungnya ia menjadi salah satu yang selamat di antara 30-50 juta orang yang meninggal akibat virus Plague of Justinian. Pada saat itu dikenal istilah humorism treatment, yaitu perawatan secara alami dengan gaya hidup sehat. Keterbatasan medis membuat sebagian dari yang terjangkit memilih melakukan perawatan sendiri, seperti mandi dengan air dingin, memakai jimat dan cincin, dan menggunakan berbagai jenis obat dan bubuk khusus yang mengandung rempah-rempah.
Pada tahun 1347-1351 Masehi, Eropa kembali dilanda wabah pes yang disebut dengan Black Death (Maut Hitam). Wabah ini dinyatakan telah membinasakan sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa, atau sekitar 75-200 juta nyawa manusia di seluruh dunia. Penyakit pes yang mendunia ini disebabkan oleh bakteri Yersinia Pestis, berasal dari tikus-tikus yang menyelinap ke berbagai kapal dagang dan bersembunyi di berbagai muatan kapal.
Pencegahan yang dilakukan pada waktu itu adalah dengan melakukan pencampuran bahan-bahan rempah seperti kamphor, mint, pala, cengkeh, dan kemenyan pada udara busuk yang dihirup masyarakat. Bahan-bahan ini dibakar dan uapnya disebar untuk mensterilkan udara. Agar terhindar dari Black Death, dokter pada masa itu menggunakan topeng khusus yang berikan bahan rempah tersebut. Baju yang dipakai mereka merupakan bentuk awal dari pakaian Alat Pelindung Diri (APD) yang kita kenal sekarang.
Cara lain untuk mencegah wabah ini adalah dengan menahan para pelaut untuk tetap berada di kapal selama 30 hari sampai terbukti tidak sakit, dan dikenal dengan istilah trentino. Kemudian waktu penahanan diperlama menjadi 40 hari, dan dikenal dengan istilah quarantine asal mula kata yang digunakan untuk istilah karantina dalam menghadapi wabah.
Wawancara (20/04/2020) penulis dengan Drs. Teuku Abdullah, S.H., MA yang kerap disapa T.A Sakti, ia merupakan salah satu pegiat hikayat dan manuskrip Aceh, serta pensiunan dosen Pendidikan Sejarah, FKIP, Unsyiah. Rumahnya yang beralamat di Tanjung Selamat, Darussalam, seakan disulap jadi perpustakaan pribadinya dengan segudang buku-buku klasik, manuskrip, dan lembaran-lembaran hikayat yang tergolong usang. Masalah yang paling ditakuti dalam menjaga lembaran kertas usang adalah serangan kutu buku. T.A Sakti memiliki ramuan sakti yang dibeberkan kepada saya.
“Ramuan tersebut adalah dengan menaburkan cengkeh pada rak-rak buku. InsyaAllah kutu buku akan lari terbirit-birit mencium aroma cengkeh yang menyengat,” begitu ungkap T.A Sakti lelaki yang berusia 67 tahun, dan tergolong antik.
Penanggulangan wabah Plague of Justinian dan Black Death setidaknya menjadi acuan pembelajaran masyarakat dunia dalam menghadapi coronavirus dewasa ini. Setidaknya rempah-rempah pernah dijadikan obat untuk menangkal virus mematikan sebelum corona melanda (rempah yang lumbungnya ada di Indonesia negeri zamrud khatulistiwa).
Lantas kenapa kita sebagai orang Indonesia merasa risau menghadapi corona, dan seakan acuh terhadap manfaat dari rempah dalam menghadapi virus tersebut. Laksana tukang bangunan yang sibuk mencari pensil tukangnya, lupa ia, pensil tersebut disematkan di atas daun telinganya sendiri-. Belajar dari sejarah merupakan hal yang perlu, serta didukung oleh penelitian medis lanjutan untuk mengungkap kebenaran rempah sebagai obat penangkal virus yang telah merenggut ribuan nyawa manusia di muka bumi.
Sudah setahun lebih penduduk planet bumi hidup berdampingan dengan Covid-19. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa, semoga bumi segera sembuh, perekonomian penduduk bumi kembali pulih, anak-anak kembali pintar setelah lama menetap di rumah tidak sekolah. Amin (7x).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H