Mohon tunggu...
muhammad yulius
muhammad yulius Mohon Tunggu... -

MUHAMMAD YULIUS menekuni dunia jurnalistik sejak 1992 sebagai penulis freelance pada beberapa media Islam. Pada tahun 1998 ia bergabung bersama Majalah Annida sebagai Redaktur, lalu Redaktur Pelaksana, dan terakhir Pemimpin Redaksi. Lulusan jurusan broadcasting Universitas Mercubuana dan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) ini juga merambah dunia sinetron dan film sebagai penulis skenario dan produser. Beberapa karya yang telah ditulisnya adalah Antologi Puisi Indonesia (KSI dan Penerbit Angkasa, 1997), Graffiti Imagi (Yayasan Multimedia Sastra, 2001), Sajadah Kata (Syaamil, 2001), Salju di Mata Ibu, antologi cerpen Pusat Bahasa (Yayasan Obor Indonesia, 2001), Yang Dibalut Lumut, antologi cerpen Depdiknas-CWI (CWI, 2002), Dian Sastro for Presiden, antologi puisi Akademi Kebudayaan Yogya (Insist Press, 2005), serial Triple-E (lima jilid, Syaamil Cipta Media, 2005), dan Lelaki di Menit Terakhir (novel bersama Meutia Geumala, Syaamil Cipta Media, 2005), Cermin Ramadhan Lativi (MCU 2002), Astagfirullah (Sinemart, SCTV 2005), Jalan Takwa (Sinemart, SCTV2005), dan Maha Kasih (Sinemart, RCTI 2006), dan menjadi script writer untuk produk PSA Bank Mandiri (Digiseni Production 2006) dan BPR Bank Indonesia (Yayasan SET, 2007), sebagai produser eksekutif dan penulis skenario di film Sang Murabbi) dan film pendek—sebagai sutradara film pendek Kado Merah untuk DPR (2004), Nyanyi Sunyi Manusia Gerobak (2006), dan Senja Kala SK Trimurti (2007). Ia juga terlibat dalam penggarapan video dalam peringatan Seratus Tahun Sjafruddin Prawiranegara sebagai reviewer dan penulis naskah. Selain itu, ayah dari Albarra Ahmad Nuwrana ini aktif memberi ceramah, training, dan seminar masalah kesenian dan kebudayaan. Kini, Yulius aktif dalam pengembangan Inframe Studio, sebuah lembaga training akting, penyutradaraan, jurnalistik tv, dan sastra populer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Melawan Labeling dari Penjara Bawah Tanah (Catatan Pementasan “Penghuni Kapal Selam” Teater Kanvas)

26 Oktober 2014   17:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:41 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam alam kekuasaan masyarakat sipil (civil society), kata sosiolog Bryan S. Turner, negara dan rakyat tidaklah berhadap-hadapan secara via-a-vis. Ada kekuatan sosial yang menjadi semacam penengah dan berfungsi sebagai bamper di antara keduanya. Dengan peran dan fungsi kekuatan sosial ini, karakter negara kemudian tidak berkembang menjadi despotis karena kekuatan sosial bekerja dengan tujuan terciptanya suasana yang dialogis dan demokratis. Lalu, siapa sajakah yang dapat berperan menjadi kekuatan sosial itu? Bryan menyebut salah satunya adalah media massa. Namun, sayangnya, Bryan lupa bahwa fungsi kontrol sosial (social control) yang dimiliki media massa tidaklah berbanding lurus dengan upaya mengalienasi potensi labeling (pelabelan) yang justru seringkali dipicu oleh karakter pemberitaan jurnalistik media massa—yang dengan cepat dapat mengubah posisi negara-rakyat menjadi vis-a-vis dan despotismenegara menjadi isu yang santer. Sejumlah labeling yang diproduksi oleh pemberitaan jurnalistik media massa dapat kita deretkan di sini.

Subversif; penyebutan ini pernah menjadi labeling amat populer sekaligus menakutkan pada zaman orde baru dan mencapai klimaksnya pada detik-detik lahirnya orde reformasi dengan berita penculikan para aktivis oleh unsur militer. Namun, media massa mempromosikan labeling dalam versinya yang baru, yakni terorisme, dengan perangkat eksekusi-negara yang jauh lebih efektif dan agresif. Sejumlah orang ditangkapi dengan satu-satunya sangkaan, yakni menjadi pelaku aksi terorisme, dan media massa tidak berada dalam posisi memediasi hubungan negara dan para terduga terorisme. Buktinya, terorisme kemudian menjadi isu mondial, dengan penamaan dan labeling yang seragam dan dapat diaplikasikan di seluruh dunia. Al-Qaedah dan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) adalah dua nama dan contoh bagaimana proses pelabelan itu terjadi secara massif.

Anarkis; istilah ini lahir dan didedah oleh media massa untuk serangkaian aksi unjuk rasa yang biasanya berujung ricuh dan rusuh. Sejumlah orang ditangkapi, baik yang berhubungan langsung dengan aksi demonstrasi—misalnya buruh atau mahasiswa—maupun yang sama sekali tidak punya hubungan, misalnya tukang es. Para korban penangkapan itu, memang, tidak sampai kehilangan nyawanya, tapi labeling sebagai pembuat onar tak dapat dihilangkan begitu saja.

Nah, jika media massa dapat dengan mudah terpeleset menjadi agen labeling (agent of labeling) lantas bagaimana peran kekuatan sosial dapat dimainkan di jalur yang semestinya? Teater adalah jawaban yang dapat diberikan, dan itulah yang dimainkan oleh Teater Kanvas dalam produksinya yang ke-99 dengan judul lakon Penghuni Kapal Selam.

Dalam pementasan yang berlangsung selama tiga hari (21-23/10) di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), teater pimpinan Zak Sorga ini mencoba mengidentifikasikan para korban despotisme negara dengan labeling yang disandangnya. Mengambil setting penjara bawah tanah—dengan labeling orang-orang tahanan—persoalan bergulir dari satu kasus ke kasus lain di seputar hubungan negara-rakyat. Seorang tokoh bernama Jerio, misalnya, menuturkan persoalan yang membelit sosok politikus hipokrit, yang karena sikap ambigunya ia dijeblokan ke dalam “kapal selam” bersama para tahanan lainnya. Uniknya, meski sama-sama berstatus tahanan, kasus Jerio tidak sama dengan kasus penghuni sel lainnya. Tokoh Sapi’i, contohnya; ia hanyalah seorang penjual es yang berada di tempat kejadian perkara saat sebuah aksi demonstrasi mahasiswa berujung rusuh berlangsung. Sapi’i yang tak tahu apa-apa selain cara berjualan es, harus bergabung bersama para penghuni penjara bawah tanah dengan satu-satunya dakwaan: berada di lokasi aksi unjuk rasa—meski hanya untuk berjualan es.

Tokoh Jerio sang politikus dan Sapi’i si tukang es amat kontras kasusnya dengan tokoh Ustadz Abdul Ghoffar dan Yon, seorang pengikutnya. Kasus Ustadz Ghoffar dan Yon adalah kasus yang berat dan serius. Mereka dituduh menyusun makar yang bertujuan mendirikan Negara Islam. Bagi Zak Sorga, sutradara sekaligus penulis naskah, tuduhan kepada Ustadz Ghoffar dan Yon adalah sebuah potret disharmoni relasi negara-rakyat dan Negara Islam tak lebih sekadar labeling. Premis Zak terpapar dalam dialog berikut ini.

Yon: Lalu untuk apa kita di sini?

Ustadz Ghoffar: Tanya saja pada dirimu sendiri.

Yon: Untuk sebuah kekuasaan kan?

Ustadz Ghoffar: Bukan! Didiklah umat secara benar dan biarkan mereka yang menentukan bentuk kekuasaan yang mereka inginkan.

Yon: Juga hukumnya?

Ustadz Ghoffar: Ya!

Yon: Juga memilih pemimpinnya ?

Ustadz Ghoffar: Ya!

Yon: Itu artinya memisahkan negara dengan agama!

Ustadz Ghoffar: Tidak! Karena tidak ada gunanya negara Islam kalau umatnya sendiri tidak mampu menghayati nilai-nilai Islam.

Premis “mendidik umat secara benar” (baca: berdakwah) mestinya tak memiliki relasi secara politik dengan negara.Pendidikan, termasuk pendidikan akhlak dan mental, adalah kebutuhan rakyat dan negara berkewajiban memenuhinya. Bagaimana kampanye “mendidik umat secara benar” dapat terbaca sebagai upaya menggulingkan negara dan menegakkan Negara Islam, inilah bagian kosong (blank spot) yang tak terjangkau oleh instrumen sosial rakyat dan fungsi kontrol media massa. Repotnya, melalui tokoh Kepala Sipir dan Interogator, negara menganggap bagian kosong itu tak memerlukan penjelasan selain bahwa para tokoh pendidik umat seperti Ustadz Ghoffar dan Yon tidak boleh keluar dari persoalan halal-haram, shalat-mengaji, sabar-ikhlas. Jangan sekali-sekali masuk ke ranah politik! Maka, menjadi jelas bagi penonton ke mana premis “tidak ada gunanya negara Islam kalau umatnya sendiri tidak mampu menghayati nilai-nilai Islam” diarahkan. Ya, itu adalah ciri pendefinisi sekelompok pendakwah yang tak ingin berurusan dengan dunia politik praktis yang karib dengan kemunafikan. Dan Zak telah sejak dini menegaskan dalam dialog lakonnya.

Ustadz Ghoffar: Saudaraku, kalau kau mampu merebut kekuasaan ini, apa kau mampu memerintah dengan cara yang lebih baik? Apa kau mampu mengendalikan nafsumu untuk tidak memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan keluargamu? Kekuasaan itu sangat lezat saudaraku. Istighfarlah banyak-banyak sebelum kau mendudukinya.

Yon: Sepertinya Ustadz sudah mulai ragu dengan garis perjuangan kita?

Ustadz Ghoffar: Justru saya semakin yakin, mendidik umat agar lebih mengerti akan Islam adalah lebih utama dari kekuasaan itu sendiri.

Maka, tak mengherankan bahwa kemudian despotisme negara terhadap orang-orang seperti Ustadz Ghoffar dan Yon telah menciptakan katarsis yang berujung pada desersi dan kematian yang menimpa Kepala Sipir yang menyatakan keluar dari tugasnya. Hidup Kepala Sipir harus berakhir di ujung pistol sang Interogator, yang ingin memelihara Ustadz Ghoffar sebagai “aset” untuk melanggengkan kekuasaannya seraya menjauhkannya dari endusan media massa.

Upaya Teater Kanvas untuk menjaga keseimbangan relasi negara-rakyat melalui pementasan Penghuni Kapal Selam patut mendapat apresiasi karena ekses labeling yang disematkan kepara para korban despotisme negara amat berbahaya bagi keharmonisan hidup berbangsa. Dalam teori-teori labeling yang dikemukakan oleh para pakar seperti Frank Tannebaun (Crime and The Community), Howard Becker (The Outsider), Kai Theodor Erikson (Notes on the Sociology of Deviance), Edwin Lemert (Human Deviance Social Problem and Social Control), dan Edwin Schur (Labeling Deviant Behavior) disebutkan bahwa dengan memberikan labeling kepada diri seseorang, kita cenderung melihat seseorang secara keseluruhan kepribadiannya dan bukan kepada perilakunya satu per satu. Aplikasi pemikiran seperti ini akan memberikan gambaran “Orang yang diberi label jahat, dan diperlakukan seperti orang jahat, akan menjadi jahat.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun