impian, cita-cita, atau apapun itu. Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan yang berorientasi atau berfokus kepada ekspektasi dirinya sendiri bukan kepada kenyataan atau realita yang ada bahwa mereka punya kapasitas tersendiri, sehingga mereka melupakan bagaimana cara mendapatkan hal tersebut sesuai dengan cara mereka masing-masing, dan bahkan cenderung meniru dan menjalankan cara yang orang lain jalankan.Â
  Setiap orang pasti memiliki keinginan tentang apa yang mereka inginkan, entah itu sebuah  Padahal mungkin cara tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, seperti contohnya orang tersebut memiliki impian untuk masuk suatu perguruan tinggi negeri A, namun orang tersebut bingung bagaimana cara meraihnya sehingga meniru cara orang lain, cara belajarnya, cara mengatur waktunya, padahal setiap orang mempunyai cara belajar tersendiri dan tentang mengatur waktu juga masing-masing orang pasti memiliki kesibukan yang berbeda-beda, sehingga cara mengatur waktunya pun sangat berbeda. Jika orang tersebut dapat meraih hal itu dengan caranya, maka kamu juga bisa meraihnya dengan caramu sendiri, karena untuk mendapat hasil 10 tidak harus 5+5, tapi 3+7, dan 100-90 juga sangatlah bisa.
  Semakin kita bertambah usia, maka semakin besar pula keinginan, cita-cita, dan impian yang kita impikan. Namun, cita-cita besar itu hanyalah sebuah mimpi jika tidak dikejar atau berusaha untuk menggapainya, padahal justru dengan semakin besar mimpi kita maka semakin besar pula effort atau usaha yang kita kerahkan untuk menggapai itu.
  Namun adakalanya disaat kita sudah melakukan yang terbaik, seperti berusaha semaksimal mungkin, mencoba berbagai cara, berdoa dengan sungguh-sungguh justru tidak mendapatkan hasil yang kita inginkan. Mengapa demikian? padahal pada dasarnya kita tidak bisa mendapatkan semuanya sesuai keinginan kita secara terus-menerus, karena menurut sahabat Nabi Sayyidina Ummar Bin Khattab berkata bahwaÂ
"Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi Takdirku, dan apa yang Ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku."- Ummar Bin Khattab.Â
  Yang dimana berarti kita tidak bisa menganggap semua hal yang kita lakukan akan menghasilkan hasil seperti tentang apa yang kita inginkan. Namun, terlepas dari itu semua sebaiknya kita hanya fokus terhadap apa yang kita lakukan, menikmati apa yang kita lakukan, tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada karena kita tidak tahu itu takdir kita atau bukan, maka dari itu yang bisa kita lakukan adalah fokus terhadap apa yang bisa kita kontrol dan membiarkan hal yang tidak bisa kita kendalikan.
 Tetapi bukan berarti dengan kata-kata tersebut kita santai, bermalas-malasan dengan pikiran "ya kalau itu takdir kita, pasti datang ke kita kok." bukan seperti itu, Buya Hamka pernah berkataÂ
" Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah." -Buya Hamka.Â
  Dapat diartikan bahwa pada dasarnya kita sebagai manusia, kelas teratas pada rantai makanan adalah mahluk tercerdas di bumi karena memiliki pikiran, akal, hati, nafsu, dan ruh. Pikiran sebagai pencerah hati agar menembus cakrawala pengetahuan, Akal sebagai mata hati untuk memisahkan mana yang benar dan mana yang salah, Hati untuk memutuskan pilihan hidupmu, Nafsu agar menjadi lawanmu, dan Ruh untuk menghidupkan Hatimu. Sangat sempurna bukan? Tentu!. Namun, terkadang kita enggan memaksimalkan hal tersebut dan malah mendahulukan istirahat, bermalas-malasan ketimbang melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
  Sebenarnya jika itu takdir kita dan itu pasti akan datang ke kita, namun jika itu tidak datang kepada kita, kemungkinan di lauhul mahfuz tertulis " jika engkau mengejar ini engkau akan mendapatkannya, jika tidak maka engkau tidak mendapatkannya." karena pada Al-Qur'an surat Al-an'am di ayat 59 juga berbunyi
 "Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (Q.S. Al-An’am : 59).Â