Bagi kalangan pesantren atau keagamaan Islam di Jawa, istilah "Gus" pastinya sudah lumrah terdengar dan menjadi suatu panggilan atau julukan bagi pemangku atau trah dari seorang kyai yang memiliki makna, "bagus, arif, dan becik." Kalau dipanjangkan, istilah gus biasanya disebut dengan "agus" yang memiliki makna, sosok yang mulia. Seperti di Madura misalnya, panggilan kepada seseorang yang memiliki trah atau darah kyai akan disebut dengan "Lora, atau Ra." Kemudian lafadz atau sebutan jama' untuk "gus" ini adalah "gawagis."
Untuk kalangan perempuan, maka memiliki sebutan tersendiri, yakni, "ning".gelar ini menjadi pertanda bahwa seseorang memiliki tugas yang berat, hal ini sesuai dengan filosofi kata "Ning" sendiri yang berasal dari kalimat berbahasa Jawa "beningno ati" yang berarti jernihkan hati, orang yang bergelar demikian hendaklah bisa menjernihkan hati agar menjadi contoh yang baik bagi pengikutnya atau disini bisa dikatakan sebagai santrinya. Sedangkan untuk menyebutkan jama' atau kelompok dari ning ini adalah "Nawaning".
Sematan "Gus" telah dikapitalisasi menjadi sebuah brand, merek dagang yang diyakini bernilai jual tinggi. "Gus" telah menjelma menjadi kebutuhan untuk orang-orang yang tengah menyasar segmen masyarakat tertentu. Barangkali gelar ustadz terlalu mainstream, gelar habib nggak punya garis keturunannya, dan gelar kiai terlalu berat, jadi sebutan "Gus" lebih dipilih karena kesannya nggak wah-wah banget. Cukup merakyatlah. Kira-kira begitu kali ya?
Bisnis permainan kepercayaan ini memang lebih menggiurkan karena tidak perlu ada alokasi anggaran uji kompetensi, uji klinis, dan penelitian. Penentuan tarifnya pun tidak ada HET (harga eceran tertinggi) layaknya obat pabrikan. sangat disayangkan juga ketika praktik pengobatan alternatif dibungkus dengan atribut agama atau panggilan "Gus" agar laris. Ada juga orang yang mendadak "Gus" saat menjelang pemilu agar orang lebih percaya. Lihat aja baliho-baliho partai menjelang 2024 ini. Hehehe.
Malah kalau standar Gus Baha (KH Ahmad Bahauddin Nursalim) lebih ekstrem lagi. Kesarjanaan Gus tidak hanya bernasab, tapi juga ada syarat standar keilmuan. Tidaklah sesederhana katanya yang hanya terdiri dari tiga huruf itu. Gus mewakili nasab, sosok, dan keilmuan, dan tradisi pesantren. Memang, sebenarnya cukup memiliki trah atau darah atau nasab kyai, maka njenengan layak atau boleh memiliki gelar "Gus" atau "Ning", namun patennya atau lumrahnya, tiga aspek tadi adalah sebuah verifikasi kevalidan bahwa anda adalah "ning" atau "gus".
Aspek pertama, yakni nasab, setidaknya dapat dijadikan patokan utama atau valid dalam gelar kesarjanaan "gus" dan "ning". Kemudian, melihat aspek-aspek selanjutnya mengenai sosok (pribadi) dan keilmuan (sanad), maka kita dapat mengerti, jika sosok "gus" atau "ning" ini merupakan sosok yang diharapkan mampu mengayomi dan menjadi sosok yang dapat menjadi refrensi masyarakat setelah orang tua maupun leluhur mereka. Bukan hanya muncul disaat....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H