Fotografi sebagai domain media digital  yang mengintegrasikan teknologi informasi sebagai domain konseptual, domain teknologi fungsional serta domain audiovisual semakin memberikan signifikansi yang jelas bahwa fotografi dapat menjadi bukti ilmiah dan bukti dokumenter yang konkret secara estetika visualisasi yang tampil amat jelas, realistis dan rinci (Wibowo, 2015). Maka dari itu, fotografi dapat menjadi salah satu media yang efektif dalam menyampaikan  informasi dan dokumentasi dari suatu peristiwa. Di beberapa tempat seperti museum atau kearsipan, fotografi selain menjadi media penyampai informasi dan dokumentasi juga sebagai sumber sejarah karena isi dari foto tersebut mengabadikan momen dan peristiwa penting yang penuh nilai dan makna seiring zaman berkembang. Fotografi yang memuat peristiwa bersejarah menjadi penting karena merupakan bagian daripada realitas penghayatan dari karya foto yang menampilkan citra manusia sebagai representasi atas realitas tersebut (Sulaiman & Sari, 2022).Â
Seiring berkembangnya teknologi digital, keberadaan sumber-sumber visual semacam fotografi sangat luas disamping berkembangnya internet  hasil  persentuhan berpikir disruptif masyarakat kini serta akselerasi teknologi Revolusi Industri 4.0 yang membangun perubahan masyarakat dan kebudayaan secara mutakhir (Dienaputra, 2019). Akses fotografi digital (terutama fotografi sejarah) beredar tak terbendung di berbagai jejaring internet. Hal tersebut yang memudahkan  para pendidik sejarah untuk memanfaatkan media fotografi sejarah sebagai bahan untuk mendukung terlaksananya pembelajaran sejarah dengan kreatif.
Fotografi dinilai efektif membantu pendidik untuk membangun keterampilan berpikir imajinasi sejarah peserta didik di samping maraknya isu kelesuan dalam praktik pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah akibat metode yang pasif dan kurang variatif sehingga membuat peserta didik semakin menjauhi semangatnya untuk belajar sejarah. Media fotografi sebagai bentuk visualisasi dalam pembelajaran sejarah hadir untuk menstimulasi pemahaman, mempertegas ingatan, menumbuhkan minat belajar peserta didik serta memberikan kontekstualisasi antara konten pembelajaran dengan situasi aktual yang dialami oleh peserta didik (Irawati, 2020).Â
Berdasarkan pengalaman penulis secara empiris, peserta didk sangat tertarik pada hal-hal visual karena selain nyata dalam visualisasinya dan dapat mengunggah imajinasi, juga dapat mengasah keterampilan menginterpretasi serta memicu respon emosional yang membuat pengalaman sejarah lebih bermakna dan terpatri dalam ingatan peserta didik. Tentu untuk membuka kesempatan bagi peserta didik menumbuhkan aspek-aspek tersebut dalam diri mereka, seorang pendidik dapat memfasilitasi ruang kreatif bagi peserta didik melalui pemberian pertanyaan-pertanyaan elaboratif menyangkut media fotografi sejarah tersebut yang mendorong peserta didik mengembangkan keterampilan argumentasinya (Supriatna, 2019).Â
Contoh, seorang guru mengajarkan pada peserta didiknya tentang perjuangan diplomasi Indonesia untuk mempertahankan eksistensi Indonesia di kancah Internasional. Guru tersebut menampilkan foto keempat delegasi Indonesia di Rapat Dewan Keamanan PBB pada 14 Agustus 1947, yakni H. Agus Salim, Sutan Sjahrir, Soemitro Djojohadikoesoemo dan Charles Tambu yang berjuang untuk menemukan resolusi konflik Indonesia-Belanda melalui proses arbritase dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 1971).
Melalui foto tersebut, pendidik dapat menyampaikan kiprah keempat tokoh tersebut  disertai fakta-fakta sejarah yang menginspirasi mereka supaya termotivasi. Pendidik dapat membalut makna yang terkandung dalam foto tersebut dengan menggugah emosi peserta didik tentang betapa gigihnya peran keempat tokoh tersebut untuk memperjuangkan eksistensi bangsanya di kancah dunia sehingga memacu jiwa nasionalisme dan patriotisme pada peserta didik.Â
Dalam foto tersebut juga terdapat tokoh bernama Charles Tambu, seorang imigran dan wartawan asal Ceylon (kini Sri Lanka) yang teguh dalam membantu Indonesia di forum PBB pada tahun 1947 (Merdeka, 22 Oktober 1949). Pendidik dapat memberi kesempatan bagi peserta didik untuk menginterpretasikan peran Charles Tambu atau pihak-pihak dari luar negeri lainnya yang memiliki peran yang sama pada masa Revolusi Fisik (1945-1949). Hasil interpretasi itulah yang memacu daya kritis peserta didik mengenai peran-peran eksternal yang membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan, hal tersebut dapat memperkaya wawasan mereka terkait sejarah perjuangan bangsanya sendiri.Â
Pemanfaatan media fotografi pula acapkali mengalami hambatan dalam proses pengaplikasiannya dalam pembelajaran sejarah. Setiap konten pembelajaran sejarah tidak semua dapat memanfaatkan media fotografi untuk membuat variasi dalam pembelajarannya, semisal konten Sejarah Indonesia Kuno (Masa pra-aksara hingga masa Hindu-Buddha) dan konten sejarah perkembangan Islam di Nusantara hingga masa kolonialisme dari abad ke-16 hingga awal abad ke-19, karena pada masa tersebut belum ada penemuan alat fotografi sehingga sukar untuk menemukan sumber-sumber visual yang objektif dan realistis dari konten-konten sejarah tersebut. Sumber-sumber fotografi sejarah di Indonesia baru berkembang pada awal abad ke-20 hingga era kontemporer.
Selain itu, foto-foto yang mengandung sensitivitas dan isu yang kontroversial karena terdapat simbol terlarang, adegan tidak senonoh/kekerasan atau foto yang dimanipulasi, juga menghambat proses pengaplikasian media fotografi dalam pembelajaran sejarah karena terdapat kekhwatiran pendidik akan prasangka dan pengalaman traumatis peserta didik. Maka daripada itu, penyampaian isi, nilai dan makna yang terkandung dalam foto-foto semacam itu mesti disampaikan secara hati-hati dengan dukungan wawasan luas dan seimbang dari pendidiknya itu sendiri, begitu juga pendidik harus seimbang, netral dan bertanggung jawab atas sajian konten pembelajarannya itu sendiri (Wiriaatmadja,2002). Â