Mohon tunggu...
toha lukmann
toha lukmann Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

suka membahas hal yang lagi ramai di bicarakan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Kebangkrutannya Perusahaan Tupperware

29 Oktober 2024   11:41 Diperbarui: 2 November 2024   20:23 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Tupperware Brands, perusahaan yang dikenal luas sebagai produsen wadah penyimpanan plastik, resmi mengajukan kebangkrutan pada 17 September 2024. Langkah ini diambil setelah perusahaan mengalami penurunan penjualan yang tajam dan menghadapi beban utang yang besar, mencapai lebih dari $700 juta. Kebangkrutan ini menandai akhir dari era panjang bagi Tupperware, yang telah beroperasi selama hampir 80 tahun.

Tupperware didirikan pada tahun 1946 oleh Earl Tupper di Leominster, Massachusetts. Perusahaan ini terkenal karena inovasi segel kedap udara yang memungkinkan makanan tetap segar lebih lama. Konsep "Pesta Tupperware" yang diperkenalkan oleh Brownie Wise pada tahun 1950-an menjadi metode pemasaran yang sangat sukses, mengubah cara produk ini dijual dan menjadikannya populer di kalangan ibu rumah tangga di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Tupperware pernah menjadi merek ikonik dengan penjualan yang meroket, terutama pada tahun 2013 ketika Indonesia menjadi pasar terbesar mereka dengan penjualan mencapai lebih dari $200 juta. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan ini menghadapi tantangan serius

Permintaan untuk produk Tupperware telah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun selama pandemi COVID-19 terjadi lonjakan permintaan karena banyak orang memasak di rumah, tren ini tidak berlanjut setelah pandemi berakhir. Masyarakat kini lebih memilih gaya hidup praktis dan lebih sering makan di luar, yang mengurangi kebutuhan akan wadah penyimpanan makanan.

Tupperware memiliki utang besar yang menjadi beban keuangan yang signifikan. Dengan total kewajiban diperkirakan antara $1 miliar hingga $10 miliar, perusahaan terpaksa mencari perlindungan hukum untuk menghindari penyitaan aset oleh kreditur. Utang ini sebagian besar dimiliki oleh investor yang mengkhususkan diri dalam utang bermasalah, dan mereka telah berusaha menggunakan posisi utang mereka untuk menyita aset penting perusahaan.

Perilaku konsumen juga berubah seiring dengan perkembangan zaman. Munculnya berbagai alternatif produk penyimpanan makanan yang lebih murah dan ramah lingkungan membuat Tupperware kalah saing. Meskipun perusahaan telah mencoba untuk beradaptasi dengan membuka toko online dan memanfaatkan e-commerce, upaya tersebut tidak cukup untuk menarik minat konsumen modern.

Penjualan Tupperware mengalami penurunan drastis, dengan laporan menunjukkan penurunan sekitar 18% menjadi sekitar $1,3 miliar pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya. Lonjakan penjualan selama pandemi COVID-19 tidak dapat dipertahankan setelah banyak orang kembali ke kebiasaan lama mereka. Analis menyebutkan bahwa Tupperware gagal terhubung dengan konsumen muda yang lebih memilih alternatif penyimpanan makanan yang lebih inovatif dan ramah lingkungan.

Perusahaan memiliki utang yang sangat besar, dengan laporan menyebutkan jumlah utang mencapai $812 juta. Negosiasi berkepanjangan dengan kreditur mengenai utang ini tidak membuahkan hasil, dan Tupperware terpaksa mencari perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi keuangannya.

Laurie Ann Goldman menyatakan bahwa perusahaan mengalami penurunan permintaan konsumen yang signifikan dan meningkatnya biaya bahan baku, tenaga kerja, serta pengiriman, yang memperburuk margin keuntungan. Kebangkrutan Tupperware tidak hanya berdampak pada perusahaan itu sendiri tetapi juga pada ribuan karyawan dan mitra penjual di seluruh dunia. Di Indonesia, misalnya, Tupperware telah menjadi merek ikonik selama bertahun-tahun, dan banyak orang mengenang masa kejayaannya sebagai produk favorit di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Penutupan atau pengurangan operasi dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan dan berdampak pada ekonomi lokal. 

Dr. David M. Williams, Ahli Strategi Bisnis menyatakan kebangkrutan Tupperware adalah contoh nyata dari bagaimana perusahaan yang telah lama berdiri dapat terjebak dalam pola pikir yang kaku. Meski merek ini telah berhasil selama beberapa dekade, mereka gagal untuk beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen yang lebih memilih solusi penyimpanan yang lebih praktis dan ramah lingkungan. Perusahaan perlu berinvestasi dalam inovasi produk dan memanfaatkan teknologi digital untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Jika tidak, mereka akan kesulitan untuk tetap relevan di pasar yang semakin kompetitif." 

Sebelum mengajukan kebangkrutan, Tupperware telah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan perusahaannya, termasuk restrukturisasi utang dan menjalin kerjasama dengan bank investasi Moelis & Co untuk mencari alternatif strategis. Namun, semua usaha tersebut tidak cukup untuk mengatasi masalah likuiditas yang parah. 

Dalam pengajuan kebangkrutannya, Tupperware berencana untuk terus beroperasi sambil mencari investor baru. Proses ini diharapkan berlangsung selama 30 hari ke depan untuk menemukan solusi finansial yang dapat menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan total. Meskipun memiliki aset antara $500 juta hingga $1 miliar, kewajiban mereka jauh lebih besar

Kebangkitan dan kejatuhan Tupperware mencerminkan perubahan perilaku konsumen dan tantangan bagi merek-merek tradisional dalam beradaptasi dengan era digital. Banyak ibu rumah tangga di Indonesia mengenang masa kejayaan Tupperware dengan nostalgia, mengingat bagaimana produk-produk tersebut menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka

Kebangkrutan Tupperware, yang telah menjadi merek ikonik sejak didirikan pada tahun 1946, menandai akhir dari era yang panjang dan sukses dalam industri peralatan rumah tangga. Pengajuan perlindungan kebangkrutan Bab 11 di pengadilan Delaware pada September 2024 mencerminkan sejumlah tantangan signifikan yang dihadapi perusahaan ini, termasuk penurunan penjualan, utang yang menggunung, dan ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan perubahan tren pasar.

Kebangkrutan tupperware memberikan beberapa pelajaran penting bagi pemilik bisnis lainnya yaitu, Adaptasi terhadap Tren Pasar, Inovasi Produk, Manajemen Keuangan yang Baik, Diversifikasi Strategi Pemasaran

Kebangkrutan Tupperware bukan hanya sekadar cerita tentang sebuah merek yang gagal, ini adalah refleksi dari dinamika bisnis modern di mana inovasi, adaptasi, dan manajemen keuangan menjadi sangat penting. Dengan belajar dari pengalaman pahit ini, pelaku bisnis lain dapat mengambil langkah-langkah proaktif untuk menghindari nasib serupa dan memastikan keberlanjutan usaha mereka di tengah tantangan pasar yang terus berubah.

kebangkrutan Tupperware merupakan contoh nyata dari bagaimana bisnis yang tidak segera beradaptasi dengan tren pasar dapat tergilas oleh perubahan. Meski Tupperware sudah dikenal luas dan dipercaya selama puluhan tahun, gaya hidup konsumen modern yang lebih memilih produk multifungsi dengan harga lebih terjangkau telah menggeser posisinya. Selain itu, strategi pemasaran yang kurang optimal di era digital dan kompetisi ketat dari berbagai produk alternatif yang hadir dengan keunggulan yang sama membuat Tupperware sulit bersaing. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bahwa penting bagi setiap bisnis untuk terus berinovasi dan mengikuti perkembangan kebutuhan pasar agar tetap relevan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun