Dari lantai atas kantorku di seputaran Epicentrum Kuningan Jakarta, setiap lepas Ashar dari arah Menteng Pulo, aku selalu dapati 3 orang beranak-pinak ini berjalan bersisian. Sesekali mereka saling bergandeng tangan, sejenak berhenti lalu selangkah demi selangkah berjalan lagi menuju Jalan Rasuna Said.
Dengan tangan kirinya, Sang Suami memanggul sebatang pipa yang diujungnya telah digantungi aneka jenis kerupuk ikan, sementara di sampingnya, Sang Istri menuntun bocah perempuan berumur 4 tahun. Tapi begitulah kelakuan bocah. Bocah cantik itu kelakuannya pun laiknya anak kebanyakan. Sesekali dia melepaskan diri dari pegangan Ibunya, lalu berlari mendahului Bapak dan Ibunya sambil tertawa riang.
Karuan saja, Bapak Ibunya dibuat panik, tapi mereka nyaris tak berbuat apa-apa. Mereka hanya berdiri mematung, sambil memanggil-manggil nama anaknya. Seusai itu, pipa gantungan kerupuk pun pindah panggul ke istrinya, sementara Sang Suami membopong putrinya di bahunya. Mereka pun kembali berjalan bersisian, dan bocah itu masih tetap tertawa riang.
Dengan tangan kanan, tongkat aluminium itu diketuk-ketuk sepanjang jalan, menuntun mereka selangkah demi selangkah menuju Trotoar Pasar Festival. Di tempat inilah, di emperan trotoar yang hanya beberapa jengkel dari Restoran McDonald dan Pizza Hut, mereka menggelar dagangan.
Semenjak pindah kantor di Epicentrum Kuningan, sepulang kantor aku pasti melewati trotoar ini menuju halte busway. Niatku membeli krupuk awalnya untuk sekedar oleh-oleh, karena aku dan anakku pengila krupuk. Tapi tak dinyana, ketika aku menyerahkan uang, perempuan berkerudung penjual krupuk itu justru bertanya, “uangnya berapa ya?”. Sejurus aku perhatikan lekat-lekat; wajahnya tersenyum tapi matanya tertutup. Ternyata Ibu itu tuna netra. Beberapa hasta dari duduknya, seorang pria berwajah bersih, yang dikenalkannya sebagai suaminya, tengah asik bermain dengan gadis cilik yang cantik. Pria itu juga terseyum dengan mata tertutup.
Menutupi keterkejutanku, aku menimpali, “wah, anaknya cantik sekali. Namanya siapa?”ujarku.
“Namanya Clarisa, tahun ini dia akan masuk TK,” kata Ibu itu dengan wajah sumringah. Dari pembicaraan singkat itulah aku tahu jika mereka tinggal di Menteng Pulo, persis di belakang Kompleks Rasuna Epicentrum. Dan selepas sore, bertiga mereka berjalan kaki menuju tepi Jalan Rasuna Said untuk mengais rejeki dengan berjualan krupuk, tanpa pernah mau mengadahkan tangan untuk meminta belas kasihan.
Bagi saya yang penggemar krupuk, selalu saja ada beragam alasan untuk membeli krupuk mereka selepas pulang kerja, karena selain krupuknya enak –anakku yang umur 2,5 tahun saja sampai ikut rebutan—juga karna harganya yang terjangkau.
Namun, jika anda kebetulan lewat di seputaran Epicentrum, anda tak perlu punya banyak alasan untuk membeli krupuk mereka. Cukup perhatikan wajah Clarisa yang cantik dan manis itu, maka saya rasa anda telah punya alasan untuk membeli satu kantung krupuk dari mereka.
Lalu nikmatilah krupuk itu dengan memandang dunia yang sangat indah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H