Mohon tunggu...
muhammad taufiq 55
muhammad taufiq 55 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Senang bisa bergabung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kode Etik dalam Berkampanye di Media Sosial pada Pemilu 2024

9 Februari 2024   23:11 Diperbarui: 9 Februari 2024   23:35 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dampaknya tak main-main. Narasi kebencian yang dipupuk, juga adanya ancaman terhadap Novi, menyebabkan terjadinya persekusi oleh sekelompok orang terhadap Novi.

Ada beberapa kata kunci yang saya gunakan untuk menemukan konten serangan dan diskriminasi daring terhadap perempuan, di antaranya "perempuan caleg" dan "perempuan pemilu". Dari dua kata kunci ini, muncul kata kunci "gerwani" dan "lonte demokrasi".

Kelompok rentan kedua yang menjadi target serangan daring ialah LGBT. Lagi-lagi, saya menemukan adanya narasi diskriminasi di dalam konten iklan berbayar yang ditargetkan di Facebook. Iklan tersebut telah dilihat oleh 20 hingga 25 ribu orang. Jadi, meskipun Meta mengatakan bahwa panduan komunitasnya tidak memaklumi perilaku yang mendiskriminasi kelompok tertentu, namun faktanya, narasi diskriminasi terhadap LGBT lolos dalam review iklan politik yang diizinkan oleh Meta.

Sebagaimana serangan terhadap perempuan, ada pola narasi yang bisa diidentifikasi dari kasus serangan terhadap LGBT. Pertama, narasi dari aktor politik (kepala daerah, anggota legislatif, dan caleg) yang mengumumkan anti LGBT, LGBT sebagai perilaku tidak bermoral, dan ajakan untuk mendiskriminasi LGBT. Kedua, narasi dari pemilih yang mendorong agar partai politik dan calon mendiskriminasi, mengusir, dan menghukum LGBT.

Tidak sulit menemukan konten yang menyerang kelompok ini. Masukkan kata kunci "LGBT", "LGBT pemilu", "moral LGBT", "anti LGBT", "usir LGBT", "caleg LGBT", dan "(nama partai) LGBT", Anda bisa menemukan banyak konten yang saya maksud.

Kelompok rentan ketiga yang mengalami diskriminasi daring ialah disabilitas mental. Pola yang saya temukan, disabilitas mental mengalami stigmatisasi sebagai kelompok yang tidak mampu memilih di pemilu. Pola yang jamka ditemukan juga ialah penggiringan opini bahwa KPU menggunakan suara "orang gila" untuk memenangkan partai dan pasangan calon presiden-wakil presiden tertentu.

Padahal, ada Putusan Mahkamah Konstitusi No.135/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa disabilitas mental memiliki hak pilih selama tidak ada surat keterangan dokter ahli kesehatan jiwa yang mengatakan bahwa seseorang tidak mampu memilih karena mengalami gangguan mental permanen.

Kata kunci yang saya gunakan untuk menemukan konten serangan dan diskriminasi daring terhadap disabilitas mental ialah "gila pemilu", "orang gila pemilu", dan "gila TPS".

Yang tidak mengejutkan, serangan-serangan tersebut berkelindan dengan disinformasi. Satu contoh hoaks yang viral di Pemilu 2019 ialah hoaks disabilitas mental yang diangkut paksa untuk memilih ke TPS. Framing dari hoaks tersebut ialah betapa KPU berupaya memenangkan salah satu calon presiden dengan memobilisasi suara disabilitas mental. Faktanya, persitiwa di balik foto yang viral beredar adalah disabilitas mental yang diangkut oleh aparat keamanan karena terlibat suatu kasus kriminal.

Ujaran kebencian, diskriminasi, disinformasi, trolling dan doxing hanya sebagian dari beragam jenis serangan daring lainnya selama pemilu. Targetnya tak hanya kelompok rentan, namun juga penyelenggara pemilu, aktivis hak asasi manusia (HAM), jurnalis, dan peserta pemilu. Tantangan mengamankan media sosial semakin bertambah besar dengan hadirnya kecerdasan buatan. Diperlukan komitmen bersama atau multipihak untuk membangun narasi kontrusktif nan inklusif dalam kampanye Pemilu 2024.

TANTANGAN ETIKA DALAM KAMPANYE DIGITAL

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun