Mohon tunggu...
muhammad taufiq 55
muhammad taufiq 55 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Senang bisa bergabung

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Etika Berkampanye di Media Sosial pada Pemilu 2024

9 Februari 2024   08:31 Diperbarui: 9 Februari 2024   08:37 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Riset Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) berjudul “Gangguan terhadap Hak Memilih di Pemilu 2019 dan Pilkada 2020: Fenomena dan Upaya Penanggulangan” (2020) mengidentifikasi tiga bentuk voter suppression dalam pemilu Indonesia. Pertama, diskriminasi dalam regulasi, seperti kewajiban kepemilikan KTP elektornik untuk mengakses hak pilih yang berpotensi menghilangkan hak pilih masyarakat adat dan pengungsi, dan keterbatasan metode pemungutan suara. Kedua, intimidasi dan pengusikan hak memilih. Riset Perludem menemukan banyak ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas dan rentan, pengusikan hak pilih disabilitas mental, dan intimidasi kepada pekerja tambang dan pekerja di area perkebunan sawit. Ketiga, pengacauan informasi atau banyak dipahami sebagai disinformasi.

Memperbarui hasil temuan riset tersebut, saya menemukan banyak serangan psikososial, disinformasi dan diskriminasi di ruang digital telah bermunculan jelang Pemilu 2024. Lagi-lagi, kelompok rentan dan marginal menjadi targetnya.

Pola diskriminatif, misoginis, dan pengusikan hak pilih jelang Pemilu 2024

Ada tiga kelompok rentan yang menjadi fokus saya di dalam tulisan ini, yaitu perempuan, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), dan disabilitas mental. Mengulas yang pertama, saya menemukan dua konten misoginis dan mengandung kekerasan yang menarget dua perempuan politisi, yaitu Grace Natalie dari Partai Solidaritas Indoensia (PSI) dan Noviana Kurniati, bakal calon legislatif (bacaleg) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Dari dua kasus tersebut, ada pola narasi yang bisa disimpulkan. Narasi dikemas untuk merusak reputasi perempuan calon atau perempuan politisi dengan mempertanyakan agama, merendahkan pendapat, dan mengaitkan target dengan kelompok-kelompok yang kurang disukai oleh sebagian masyarakat, seperti gerwani dan LGBT. Bahkan pada kasus Novi, data pribadi berupa alamat lengkap dan nomor ponsel yang bersangkutan diumbar di media sosial.

Dampaknya tak main-main. Narasi kebencian yang dipupuk, juga adanya ancaman terhadap Novi, menyebabkan terjadinya persekusi oleh sekelompok orang terhadap Novi.

Ada beberapa kata kunci yang saya gunakan untuk menemukan konten serangan dan diskriminasi daring terhadap perempuan, di antaranya “perempuan caleg” dan “perempuan pemilu”. Dari dua kata kunci ini, muncul kata kunci “gerwani” dan “lonte demokrasi”.

Kelompok rentan kedua yang menjadi target serangan daring ialah LGBT. Lagi-lagi, saya menemukan adanya narasi diskriminasi di dalam konten iklan berbayar yang ditargetkan di Facebook. Iklan tersebut telah dilihat oleh 20 hingga 25 ribu orang. Jadi, meskipun Meta mengatakan bahwa panduan komunitasnya tidak memaklumi perilaku yang mendiskriminasi kelompok tertentu, namun faktanya, narasi diskriminasi terhadap LGBT lolos dalam review iklan politik yang diizinkan oleh Meta.

Sebagaimana serangan terhadap perempuan, ada pola narasi yang bisa diidentifikasi dari kasus serangan terhadap LGBT. Pertama, narasi dari aktor politik (kepala daerah, anggota legislatif, dan caleg) yang mengumumkan anti LGBT, LGBT sebagai perilaku tidak bermoral, dan ajakan untuk mendiskriminasi LGBT. Kedua, narasi dari pemilih yang mendorong agar partai politik dan calon mendiskriminasi, mengusir, dan menghukum LGBT.

Tidak sulit menemukan konten yang menyerang kelompok ini. Masukkan kata kunci “LGBT”, “LGBT pemilu”, “moral LGBT”, “anti LGBT”, “usir LGBT”, “caleg LGBT”, dan “(nama partai) LGBT”, Anda bisa menemukan banyak konten yang saya maksud.

Kelompok rentan ketiga yang mengalami diskriminasi daring ialah disabilitas mental. Pola yang saya temukan, disabilitas mental mengalami stigmatisasi sebagai kelompok yang tidak mampu memilih di pemilu. Pola yang jamka ditemukan juga ialah penggiringan opini bahwa KPU menggunakan suara “orang gila” untuk memenangkan partai dan pasangan calon presiden-wakil presiden tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun