Mohon tunggu...
Muhammad Taufiq
Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... -

muhammadtaufiq.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Parikan: Milik Indonesia yang Tak Bisa Dicuri

18 Mei 2011   14:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:30 1944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sumber gambar: http:// dongengdalam.blogspot.com/

Boleh saja ada negara lain sedang berusaha meng-klaim memiliki beberapa budaya, antara lain: lagu rasa Sayange, alat musik Angklung, pakaian Batik, Rendang, Reog Ponorogo, dll, yang sejatinya milik bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tentu saja tak akan mungkin membiarkan hal itu terjadi. Bangsa Indonesia akan terus mempertahankan sampai kapan pun agar warisan budaya itu tetap menjadi milik bangsa Indonesia.

Namun, ada satu hal yang berharga milik bangsa Indonesia, yang tak mungkin bisa negara lain mengakuinya. Jika mereka memaksa, persilahkan saja mereka mencobanya. Lalu kita coba tantang mereka dalam adu kelihaian memainkannya.

Adalah parikan, yang hadir hampir dalam setiap kesenian rakyat ludruk, baik pentas di panggung rakyat, media elektronik televisi, maupun dalam rekaman kaset. Dalam setiap penggelaran ludruk, parikan muncul dalam nyanyian penari remo sebagai pembuka pentas ludruk, hadir dalam nyanyian gending jula-juli para pelawak, baik gaya jombangan, surabayan, maupun malangan, serta hadir dalam nyanyian para tandhak pavestri. Bahkan, dalam dalog dagelan atau adegan cerita inti pun, parikan biasa muncul, tidak hanya dari bibir pelawak, tetapi juga dari para pemeran lainnya.

Bekupon omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro. Parikan tersebut pernah dikidungkan Cak Durasim, legenda ludruk yang saat itu sedang melaksanakan pentas di desa Mojorejo-Kabupaten Jombang di tahun 1943. Akibat parikan itu, Cak Durasim ditangkap, disiksa oleh tentara Jepang dan menyeret Cak Durasim ke penjara. Cak Durasim meninggal dunia setahun kemudian.

“Gedung Kesenian Cak Durasim di Surabaya”, sumber gambar: surabayatraveler.com

Parikan dalam ludruk memang sarat dengan kritikan, baik kepada pemerintah maupun kritik terhadap kondisi sosial masyarakat.Parikan mempunyai beberapa fungsi sosial. Fungsi sosial yang dimaksud dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu: (a) menggambarkan realitas perilaku anggota masyarakat dan pemimpin negara, (b) mengkritik perilaku anggota masyarakat dan para pemimpin negara, dan fungsi lainnnya (c) menggambarkan buruknya realitas kehidupan masyarakat dan negara.

Nggolek obat nang Wonokitri, liwat ciliwung akeh polantase.

Onok maksiat ojok dicedeki, nek wis kecemplung angel mentase.

Ndas ngelu kebenthuk penduso, tuku obat nang apotek sehat.

Nek wis rumongso kakean duso, ayo podho tobat lan ojok lali sholat.

Parikan termasuk ke dalam genre puisi (terikat, tak bebas). Sebagai puisi terikat, parikan dapat berbentuk pantun yang empat baris dan pantun kilat atau pantun dua baris (karmina). Baik yang 4 baris maupun yang 2 baris, sebagai pantun, keduanya sama-sama mengandung sampiran dan isi. Pada parikan 4 baris, 2 baris pertama dan 2 baris terakhir serta pada pada parikan 2 baris, 1 baris pertama dan 1 baris kedua, masing-masing adalah sampiran dan isi.

Di dalam ludruk, ada tiga jenis parikan saat bedayan (bagian awal permainan ludruk). Yaitu, lamba (parikan panjang yang berisi pesan), kecrehan (parikan pendek yang kadang-kadang berfungsi menggojlok orang) dan dangdutan (pantun yang bisa berisi kisah-kisah kocak).

Namun, parikan itu tak hanya sekedar kemahiran membuat sampiran dan isi yang tepat. Perlu kelihaian cengkok saat “memainkan” parikan. Cengkok dan liukan saat melafalkan parikan itulah yang menjadi kekhasan tersendiri. Salah liukan, parikan akan hambar terasa. Mungkin hanya orang Jawa Timur, khususnya seniman Ludruknya yang bisa meng”kidung”kannya dengan baik. Tidak semua orang memiliki kelihaian itu.

Dan, parikan akan semakin seru ketika dua orang seniman ludruk sedang melakukan perang atau sautan parikan. Orang pertama membuat sampiran, orang kedua menjawabnya. Begitu seterusnya. Terkandang ganti orang kedua giliran yang membuat sampiran, orang pertama bertugas menjawabnya. Saat pemain kehabisan ide, parikan itu akan diplesetkan.

“Festival Cak Durasim” sumber gambar: http://tamanbudayajawatimur.wordpress.com/

Para punggawa ludruk setelah Cak Durasim, muncullah generasi penerusnya hingga sekarang pun masih ada, antara lain; Kartolo, Markeso, Markaban, Kancil, Sokran, Basman, Blontang, Kustini, Bondet, Munawar dan lain-lainnnya? Tentu, mereka itu adalah para seniman Ludruk. Beberapa seniman ludruk Jatim yang masih eksis yaitu Cak Kartolo Cs, Cak Sidik Cs, Cak Agus Kuprit Cs, Cak Pendik Cs, Cak Supali Cs, dan Cak Kancil Cs.

“Cak Kartolo”, sumber gambar: http://jamansemana.wordpress.com/

Kartolo Cs. Bersama dengan kawan-kawannya: Basman, Blonthang, Sapari, Sokran dan isterinya sendiri, Tini, mereka menyatu dalam grup kesenian karawitan Sawunggaling. Mereka dengan lincahnya menghibur dengan guyonan khas Suroboyo, baik melalui pertunjukan seni visual seperti ludruk, maupun lewat siaran-siaran radio.

Sayangnya, parikan sebagai sastra lisan budaya bangsa ini masih didominasi oleh generasi tua saja. Stigma negatif tentang parikan/kudruk hal yang kuno dan tak modern terkadang masih menjangkiti generasi muda bangsa Indonesia. Akan terasa jika nantinya ada bangsa lain mencoba menyobrot parikan. Meski jelas mereka tak akan mampu menandingi para punggawa kesenian ludruk kita, namun bukan berarti parikan tak perlu dijaga.

Untuk itu, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, khususnya pemerintah daerah Jawa Timur, beserta masyarakat pecinta kesenian Jawa Timur lainnya untuk terus memperkenalkan dan melestarikan parikan/ludruk dalam berbagai event yang diselenggarakan.

Parikan adalah seni komunikasi sederhana yang mampu mengajak siapapun untuk saling membuka pikiran dan hati, mengakrabkan, serta tentu saja terselip pesan filosofis hidup. Sehingga, parikan akan selalu menjadi salah satu hal yang paling Indonesia.

Mbok Painten kleleken timbo,

cekap semanten artikel kulo.

* * *

Referensi:

·http://abdulcholik.com/tag/patung-cak-durasim/

·Supriyanto, H. 1992. Lakon Ludruk Jawa Timur. Jakarta: PT Grasindo.

·Jupriono, D. 2001. “Revitalisasi Fungsi Sosial Parikan dalam Tradisi Lisan Jawa”. Jurnal Humanika VIII/2.

·Zima, P.V. 2003. “Marxist Literary Theory”.

·http://ladangkata.com/2008/11/05/dia-yang-tetap-setia/

·http://sawunggaling.wordpress.com/

·http://ketoprakjawa.wordpress.com

·http://perpustakaan-online.blogspot.com/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun