Pada pagi hari 6 April 1815 debu vulkanik jatuh di Jawa Timur yang di iringi suara samar seperti dentuman detonator dan berlangsung hingga 10 April 1815. Dan pada tanggal 10 dan 11 April 1815 di Pulau Sumatra (jarak dari Gunung Tambora sekitar 2600 km) suara yang terdengar seperti letusan senjata api, demikian kira-kira kronologis kedahsyatan letusan Gunung Tambora yang terekan dari cerita yang ada.
Letusan ini menghasilkan awan panas sekitar 400 juta ton diantanya bumi tidak mengalami musim panas dalam tahun itu. Kejadian ini biasa dikenal dengan istilah "Y ear Without Summer". Ketika gas bereaksi dengan kandungan udara di atmosfer, reaksi menghasilkan kelam di ufuk. Sinar senja langit muncul warna oranye atau merah dekat lanskap langit merah muda dan warna jingga.Â
Di kota London, antara 28 Juni hingga 2 Juli 1815 serta 3 september hingga 7 Oktober 1815, orang-orang melihat sinar matahari yang berwarna-warni saat tenggelam di ufuk. Sinar matahari pada saat senja terlihat oranye, hal tersebut terpapar di atmosfer, langit terlihat merah muda mendekati warna jingga.
Gunung Tambora sebagai warisan dunia dengan sejarah kedahsyatan dari letusan yang di hasilkannnya kini telah menjadi epik. Dua abad sudah peristiwa ini berlalu.Â
Tambora telah mencatatkan sejarah yang dahsyat dan juga mengubah tatanan masyarakat serta alam pada saat itu. Dari cerita epik tersebut kini sangat menarik perhatian para ilmuwan dari berbagai konsentrasi ilmu untuk mengkaji ulang melalui tahap penelitian dan penelusuran literatur, untuk menggabungkan potongan-potongan cerita dari berbagai sumber. Serangkaian penelitian para Arkeologis dan Vulkanologis mengawali pembuktian secara ilmiah epik tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H