Mohon tunggu...
eMtE
eMtE Mohon Tunggu... serabutan -

kesaksian adalah testimoni akhir yang perlu didengar. agar kita bijak menekuri realitas. belajar dari kesalahan masa lalu. walau kesaksian tidak selalu benar dalam perspektifnya. kata para bijak, "those who can not remember the past are condemned to repeat it!". - salam twitter@emteaedhir -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Obama Terjebak Doktrin Bush

31 Maret 2011   09:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:15 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13015600111340379291

tak pelak, campur tangan as di libya menjadi "the obama war". menambah deretan pahit keputusan intervensi di negara asing pasca dua "the bush war" di afghanistan dan irak. obama telah menciptakan zona perangnya sendiri. presiden obama menjadi pribadi yang sangat bertolak belakang dengan kandidat obama ketika pertama kali memutuskan racing dalam pemilihan presiden as ke-44. hal itu sekaligus membuktikan bahwa politik adalah realitas "playing field" yang sulit diterka. siapa yang akan menyangka figur politisi anti perang dan penerima nobel perdamaian 2009, kini menjelma menjadi another war president negara adi daya as. bocoran informasi menggambarkan detik-detik drama di situation room gedung putih bahwa awalnya obama sendiri tidak begitu sreg dengan keputusan untuk masuk ke libya. obama sadar dengan reputasi yang harus dipertaruhkan. dirinya masih kandidat obama yang anti perang. tetapi sebagai commander in chief, obama harus bergulat dengan advise para penasehatnya seperti menlu hillary clinton dan dubes as di pbb susan rice yang mengalami langsung tragedi genocide di rwanda akibat keengganan as canmpur tangan. argumentasi ini yang mereka sampaikan kepada obama. dunia tak boleh lagi menyaksikan kegagalan as menghindari pembunuhan massal yang mereka khawatirkan akan dilakukan kolonel moammar khadafi di benghazi. jadilah obama "the reluctant president" di hadapan para penasehat politiknya. tetapi keluar, obama terlihat sebagai perpanjangan doktrin bush. masalahnya, dan ini yang sangat krusial. legitimasi awal intervensi seperti tercermin dari drama di situation room di gedung putih adalah melindungi masyarakat sipil libya. itulah dasar kebijakan no fly zone di atas wilayah udara libya. lalu perlukan pasukan darat untuk memperkuat no fly zone tersebut? jika security perimeter hanya berada di zona udara, apakah as merasa cukup melindungi penduduk sipil dari serangan balik aksi militer balasan muammar ghadafi?. pentingkah mereka (baca; pemerintahan obama) bergerak lebih jauh ke dalam permainan regime change seperti menjadi fondasi dokrin bush selama ini? obama menggunakan istilah "ghadafi to step down". karena cara itu akan menjadi cara paling efektif untuk menyudahi kekerasan rejim ghadafi pada rakyatnya sendiri. sehingga jika demikian, pertanyaan selanjutnya, apakah as perlu mempersenjatai para pemberontak melawan pasukan pro ghadaffi? at the end of the story, as tak punya pilihan lain di luar dari godaan menjadikan libya sebagai zona perang ketiga setelah afghanistan dan irak. persoalan selanjutnya yang sama krusialnya adalah apakah obama akan melakukan hal serupa kalau hal itu terjadi di arab saudi?. saya telah mencium hipokrisi obama ketika para pendemo di bahrain yang mengalami kekerasan penguasa setempat tidak memperoleh perlindungan serupa. humanitarian crisis yang selama ini digembor-gemborkan obama telah terjadi di libya (dan pada prinsipnya juga terjadi di bahrain) mendemonstrasikan respons as yang sangat kontras di kedua tempat tersebut. apapun istilah yang digunakan seperti horrific violence, masacre, dan lain-lain, ungkapan itu hanya slogan public relations. konteks dan content-nya tergantung kepentingan strategis mereka yang kuat. buktinya, as tidak melakukan perlindungan serupa di bahrain (atau mungkin di arab saudi jika terjadi demonstrasi yang sama). padahal para penguasa bahrain dibantu arab saudi dan sejumlah negara teluk telah melakukan kekerasan dalam memberantas para pendemo setempat. sayangnya, mainstream media juga tidak memainkan sentimen ini secara efektif. sehingga kita menjadi lupa, bahwa sejauh ini, inkonsistensi menjadi warna paling menonjol dari hipokrisi para politisi dunia. (twitter:@emteaedhir).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun