Teringat kenangan tiga dasawarsa yang lalu, ketika semua aktivitas masih dilakukan secara manual. Seperti sarana komunikasi rakyat, di era itu hanya surat menyurat via jasa pos. Â Situasi itu pernah saya alami, hari dan tanggalnya sudah lupa, ketika pak pos bersepeda mampir ke rumah saya. Dia mengantar sepucuk surat beramplop khaki dari Gubernur Daerah Istimewa Aceh.
Sungguh bangga rasanya mendapat sepucuk surat dari gubernur. Apa isi surat itu? Belum berpikir untuk membukanya. Setengah berlari, saya masuk kedalam rumah untuk menunjukan surat itu kepada seluruh anggota keluarga.
"Bukalah dan bacakan isinya untuk kami," kata ayah sambil tersenyum.
Dengan menggunakan ujung pensil, saya buka amplop berwarna khaki itu. Didalamnya ada selembar kertas putih, berisi informasi tentang pemberitahuan kelulusan seleksi administrasi pada sebuah sekolah kedinasan. Dalam surat itu disebutkan, semua peserta segera melapor kepada panitia di Kantor Gubernur Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, paling lama seminggu sejak hari itu.
Selama berada di Banda Aceh, 350 Km jaraknya dari rumah, saya mengikuti berbagai tes. Mulai dari tes kesehatan, tes kesemaptaan jasmani, psikotes sampai ujian akademik. Alhamdulillah, semua tes tersebut dapat dilalui dengan baik.
Bekerja untuk mencari uang
Tahap terakhir, saya terpilih sebagai salah seorang yang akan diwawancarai, istilahnya waktu itu pantuhir. Saya grogi dan gugup ketika masuk ke ruang wawancara. Lebih-lebih setelah melihat si pewawancara, orangnya cukup sangar, berkumis tebal, berkulit hitam dan tinggi besar.
"Nanti, kalau anda lulus tes dan selesai menempuh pendidikan di sekolah kedinasan ini, anda akan diangkat sebagai pegawai negeri. Apakah anda bersedia menjadi pegawai negeri?" tanya lelaki berwajah seram itu memulai wawancara.
"Siap pak," jawab saya dengan sikap sempurna.
"Apa tujuan anda menjadi pegawai negeri," timpal lelaki itu sambil menatap tajam kearah saya.