Gaya hidup
Kopi, salah satu potensi ekonomi luar biasa di Indonesia. "Kue" ekonomi ini bukan hanya dinikmati oleh satu atau dua pihak, tetapi nikmatnya bisa dirasakan oleh banyak pihak. Lebih-lebih kebun kopi di Indonesia, umumnya  dimiliki oleh petani, maka rakyatlah yang menerima manfaat. Tidak yakin? Mari kita lihat, seperti apa siklus penerima manfaatnya.
Penerima manfaat "kue" ekonomi kopi dimulai dari para petani, buruh tani, buruh petik, muge (pedagang pengumpul), usaha penggilingan kopi, buruh jemur kopi, buruh sortir, buruh panggul, usaha transportasi, eksportir, usaha roasting, jasa ekspedisi, pemilik cafe, karyawan cafe, sampai industri alat peracik kopi.
Melihat siklus itu, sepertinya geliat ekonomi kopi memang tak terhentikan, ditambah dengan gaya hidup dan keseharian generasi milenial dewasa ini. Gaya hidup itu dikenal dengan ngopi bareng di cafe atau coffee shop, lalu kongkow-kongkow sambil ngutak-atik smartphone. Tren ini diyakini sebagai salah satu pendorong konsumsi kopi terus melejit dari tahun ke tahun.
Indikasi itu diungkapkan oleh Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif Bekraf, Poppy Savitri. Menurutnya, "konsumsi kopi di dunia meningkat cukup tajam, yaitu rata-rata 1,7 kg per kapita per tahun. Begitu pula konsumsi kopi di Indonesia, meningkat rata-rata lebih dari 7 persen per tahun (Tribunnewsdotcom, 22 Maret 2018)."
Senada dengan itu, Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) menulis di laman webnya: "tingkat konsumsi kopi dalam negeri berdasarkan hasil survei LPEM UI Tahun 1989 adalah sebesar 500 gram/kapita/tahun. Dewasa ini kalangan pengusaha kopi memperkirakan tingkat konsumsi kopi di Indonesia telah mencapai 800 gram/kapita/tahun."
Gadis desa
Disadari atau tidak, sejak itu kopi Gayo naik peringkat, dari "gadis desa" menjadi "artis internasional." Ditandai dengan meningkatnya permintaan buyer luar negeri maupun dalam negeri.
Permintaan itu diikuti pula dengan naiknya harga jual. Misalnya, di pasar internasional, kopi Gayo dibeli lebih mahal 80 cent dibandingkan kopi arabika dari negara lain.
"Mereka bersedia beli mahal karena membutuhkan kopi Gayo untuk pemicu rasa," ungkap Rizwan Husin, eksportir kopi dari KBQ Baburrayan Takengon.