Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Di Aceh, Membimbing Skripsi dalam Kedai Kopi

21 Februari 2018   23:23 Diperbarui: 21 Februari 2018   23:36 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Jamhuri memanfaatkan waktu senggang untuk membaca buku di kedai kopinya, Skala Banda Aceh (Foto: dokumen pribadi)

Membimbing penulisan skripsi mahasiswa didalam kedai kopi? Ah, kayaknya nggak mungkin. Paling-paling itu hanya bagian dari pencitraan. Sama sekali bukan! Itulah keseharian seorang kandidat doktor yang bernama Jamhuri, dosen Fakultas Syari'ah UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Lelaki kelahiran Blang Ara Kabupaten Bener Meriah, 52 tahun lalu itu,  menyadari ketidakyakinan publik terhadap aktivitas akademik yang dilakukannya di kedai kopi.

Pasalnya, kedai kopi di Banda Aceh sudah terlanjur mendapat stigma negatif. Seolah-olah "nongkrong" di kedai kopi hanya membuang-buang waktu.

"Saya ingin mengubah stigma itu," kata dosen UIN Ar-Raniry yang nyambi sebagai pengelola kedai kopi Skala Banda Aceh.

Dia tidak membantah tentang adanya orang-orang yang sengaja menghabiskan waktu di kedai kopi. Memang masih ada yang seperti itu, "ngobrol" atau mendengar obrolan orang lain sambil menikmati cangkir demi cangkir kopi.

Jangan salah, akhir-akhir ini yang "nongkrong" di kedai kopi bukan menghabiskan waktu. Malah, kedai kopi menjadi tempat membicarakan bisnis atau urusan pekerjaan. Begitu pun para mahasiswa, mereka memanfaatkan fasilitas WiFi untuk menyelesaikan tugas perkuliahan.

"Pernah beberapa lelaki paruh baya sibuk mengutak-atik smartphone, ternyata mereka sedang transaksi di pasar saham," ungkap host acara Keberni Gayo di TV Aceh itu.

Seperti itulah gambaran mutakhir tentang aktivitas warga Banda Aceh didalam kedai kopi. Terlepas dari semua itu, saya malah lebih tertarik terhadap aktivitas Pak Jamhuri dalam kapasitasnya sebagai pengelola kedai kopi Skala.

Jumat lalu (16/2/2018), saya sedang joging menikmati liburan nasional. Sewaktu menyelusuri trotoar penuh pohon trembesi di sepanjang Jalan Prof A Hasjmy, Pango, Banda Aceh, mata saya terpaku melihat aktivitas  Pak Jamhuri.

Hari itu, dia sedang membaca buku ditemani secangkir kopi didepan kedai kopinya. Pemandangan seperti itu terkesan "jarang" di era teknologi informasi saat ini. Biasanya, orang akan menghabiskan waktu dengan "memainkan" gadget, apalagi saat sedang sendiri.

"Langka," bisik saya. Timbul niat ingin mengabadikan momen itu tanpa diketahui oleh yang bersangkutan. Sambil menyelinap diantara pohon trembesi, saya potret lelaki itu menggunakan smartphone. Hasilnya sungguh dahsyat.

Pak Jamhuri sama sekali tidak menyadari aktivitasnya hari itu sudah direkam. Dan, saya pun belum berkeinginan menunjukkan hasil jepretan itu kepadanya.

Begitu khusyuknya membaca, dia sedikit kaget mendengar ucapan salam. Lalu, lelaki berkacamatan itu menutup buku bersampul biru yang berjudul "Kemunculan Islam Dalam Kesarjanaan Revisionis." Kemudian, dipersilahkan memilih tempat duduk sambil menanyakan pesananan saya.

"Black coffee aja," kata saya sembari mengambil tempat duduk yang menghadap ke arah jalan raya.

Dengan sudut mata, saya sempat memperhatikan Pak Jamhuri melangkah ke meja barista. Saya pikir, dia akan memberitahukan si barista tentang pesanan saya. Ternyata, dia sendiri yang meracik secangkir black coffee dari balik mesin espresso.

Memang, pagi itu masih sepi, belum ada seorang karyawan pun disana. Hanya Pak Jamhuri seorang diri, ditambah empat orang tamu yang sedang menikmati espresso didalam kedai kopi tersebut.

"Ini pasti kopi paling enak!" komentar saya ketika secangkir black coffee diletakkan Pak Jamhuri di atas meja.

"Masa iya?" balas Pak Jamhuri sedikit heran.

"Iya, ini kan kopi buatan kandidat doktor yang dihidangkan oleh seorang dosen....haha," kelakar saya yang membuat Pak Jamhuri ikut ketawa.

Dipagi yang cerah itu, kami duduk semeja sambil berbincang-bincang tentang berbagai topik. Mulai dari latar belakangnya mengelola kedai kopi, stigma negatif terhadap kedai kopi, bagaimana perasaan dosen menjadi pelayan di kedai kopi, sampai dengan bagaimana cara lelaki itu membagi waktu.

Ditengah serunya bincang-bincang itu, tiba-tiba muncul seorang anak muda membawa stopmaf folio berwarna hijau. Lalu, dia menyerahkan dokumen itu kepada Pak Jamhuri. Dari caranya berbicara, dapat diduga bahwa anak muda itu adalah seorang mahasiswa.

Benar, dokumen dalam stopmaf berwarna hijau itu adalah draft proposal skripsi. Kemudian, Pak Jamhuri membaca lembar demi lembar dari proposal itu. Sesaat dia terdiam, lalu memberi petunjuk kepada si mahasiswa agar menambah beberapa hal yang menjadi inti utama proposal tersebut.

"Berarti, mahasiswa bimbingan Pak Jamhuri bisa konsultasi di kedai kopi ini?" tanya saya setelah si mahasiswa beranjak pulang.

"Bisa! Saya siap sedia sampai kedai kopi ini tutup pukul 24.00 WIB," jelas Pak Jamhuri.

"Mereka harus pesan kopi dong?" selidik saya.

"Oh tidak. Saya tidak mau ada kesan seperti itu," sebut anggota Majelis Adat Aceh (MAA) itu.

Menurut Jamhuri, pernah mahasiswa asal Malaysia konsultasi draft proposal skripsi di kedai kopi itu. Setelah dibimbing dan diarahkan, mahasiswa itu pindah ke kedai kopi sebelah untuk memperbaiki draft proposal tersebut. Disana, si mahasiswa itu malah pesan kopi dan makanan.

"Di kedai kopi saya, dia tidak pesan minum atau makan. Saya suka seperti itu, artinya dia bisa memisahkan urusan bimbingan skripsi dengan ngopi di kedai saya," ungkap Jamhuri serius.

Menjelang tengah malam, mahasiswa itu selesai memperbaiki draft proposal skripsinya. Kemudian, dia kembali ke kedai kopi Pak Jamhuri yang berbatas dinding dengan kedai kopi sebelah.

"Setelah saya baca, hasilnya bagus dan sesuai dengan arahan, langsung saya tanda tangani," pungkas Pak Jamhuri.

Bukan itu saja, beberapa mahasiswa sering minta ujian mata kuliah di kedai kopi itu. Pak Jamhuri mengaku tidak pernah menolak. Meskipun dia menyadari bahwa kedai kopi itu tempat usaha, bukan kampus.

Baginya, "nongkrong" di kedai kopi bukan untuk menghabiskan waktu, tetapi momentum untuk belajar dan mengajar. Inilah cara Pak Jamhuri mengubah stigma negatif terhadap kedai kopi.

Menarik bukan? Bila ingin melihat mahasiswa dibimbing skripsi di kedai kopi, lalu minum kopi buatan kandidat doktor yang dilayani oleh seorang dosen? Silahkan datang ke kedai kopi Skala yang terletak di Jalan Prof A. Hasjmy, Pango, Banda Aceh.

Begini video Pak Jamhuri membimbing para mahasiswa di kedai kopinya:


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun