Siapa sih penulis yang tidak bangga ketika naskahnya dimuat di Harian Kompas, sebuah media cetak nasional? Rasanya (hampir) tidak ada, apalagi bagi seorang penulis pemula alias amatir. Malah, bangganya tak terhingga. Pasalnya, banyak penulis hebat yang (sengaja) mengirim naskah tulisan opini ke Harian Kompas, konon sebagian besar gagal muat.
Makanya, saat pertama kali naskah kita dimuat di Harian Kompas berdasarkan tulisan di Kompasiana, dipastikan akan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Itulah kenangan terindah bersama Kompasiana. Kenangan yang semakin "membakar" semangat menulis dan ingin terus menulis.
Bukan sekedar itu, muncul pula dorongan untuk menularkan "virus" menulis kepada para sahabat dan sejawat. Alhamdulillah, sebagian besar diantara mereka sudah menjadi penulis hebat dan langganan HL di Kompasiana. Begitulah!
Terus, bagaimana rasanya ketika pertama kali mengetahui naskah kita dimuat di Harian Kompas? Bangga, senang, bahagia, dan semuanya serasa menyenangkan. Pendeknya, segala sesuatu yang terlihat dimata bagai warna-warni ribuan kuntum bunga.
Begini kisahnya. Hari itu, Kamis 24 November 2011, sekitar pukul 09.00 WIB. Handphone saya berdering pertanda masuknya sebuah pesan pendek (SMS). Benar, ada pesan pendek dari dokter Hardi, seorang dokter spesialis penyakit dalam yang bertugas di Takengon.
"Mantap kali tulisan Pak Syukri di Harian Kompas hari ini," tulis dokter Hardi dalam pesan pendek itu.
"Ah masa iya?" balas saya setengah tidak percaya.
"Benar, ini korannya sedang saya baca. Saya lagi di ruang tunggu Bandara Soetta," jelas dokter Hardi.
"Apa judulnya?" tanya saya penasaran.
"Papua, Gudang Pesepak Bola Kelas Dunia," jawab dokter Hardi melalui pesan pendek.
"Waduh! Tolong korannya disimpan," pinta saya. Dokter Hardi menjawab OK. Soalnya, saya khawatir tidak memperoleh Harian Kompas, karena jumlah yang beredar di Takengon sangat terbatas. Sedikit terlambat tiba di kios penyalur koran, Harian Kompas akan ludes tak bersisa.
Setelah menerima pesan pendek itu, saya mengingat-ingat kembali tentang tulisan tersebut. Memang, saya pernah menulis tentang Adolf Kabo, pesepak bola asal Papua yang pernah ngetop pada tahun 1986. Apakah tulisan ini yang dibaca dokter Hardi?
Iseng-iseng, memang tulisan itu saya tag ke Freez. Sesungguhnya, sewaktu ngetag ke Freez, saya tidak yakin tulisan sederhana itu akan dipilih Mas Isjet untuk mengisi halaman Freez di Harian Kompas.
Selain tulisan itu tergolong biasa, saya juga masih penulis newbie dan amatir, baru 6 bulan bergabung di Kompasiana. Antara percaya dan tidak percaya, saya berusaha meyakinkan diri bahwa informasi dari dokter Hardi itu benar adanya.
Esok pagi, tepatnya Jumat (25/11/2011), masuk nada panggil dari dokter Hardi ke handphone saya. Dia menyatakan sudah tiba di Takengon, dan mempersilahkan ke rumahnya untuk  mengambil Harian Kompas edisi Kamis 24 November 2011. Â
"Alhamdulillah, artikel ini memang pernah saya tulis di Kompasiana," gumam saya saat melihat artikel berjudul Papua, Gudang Pesepak Bola Kelas Dunia pada halaman 23 Harian Kompas.
"Saya pinjam koran ini ya," pinta saya.
"Nggak apa-apa, bawa aja. Sudah habis saya baca koq," kata dokter Hardi.
Nulis di Kompasiana dimuat di Harian Kompas? Antara mimpi dan kenyataan. Namun, perasaan hati senang tak terkira. Ingin hati menceritakan hal itu kepada teman-teman, tetapi mereka umumnya pelanggan Harian Kompas. Mereka pasti sudah membaca artikel itu.
Pastinya, sulit sekali menggambarkan perasaan dan situasi hati pada waktu itu. Senang luar biasa, itu yang pasti. Satu hal barangkali yang bisa digambarkan, "seolah-olah ribuan kuntum bunga sedang  turun dari langit."
Beberapa hari kemudian, saya menerima email dari Pengelola Kompasiana. Admin meminta saya mengirimkan nomor rekening dan nomor NPWP untuk pembayaran honorarium atas tulisan yang dimuat di Harian Kompas, edisi 24 November 2011.
Benar, sesuai jadwal yang ditentukan, saya menerima transfer honorarium (kalau tidak salah) sebesar Rp 250 ribu. Uang sebesar itu cukup besar bagi saya, karena cukup untuk meneraktir teman-teman minum kopi selama tiga hari. Rasa kopi pun jadi nikmat karena dibayar dengan honorarium menulis di Harian Kompas.
Makanya honorarium pertama itu menjadi kenangan paling indah bersama Kompasiana. Kenangan itu pula yang membuat saya berketetapan hati tetap bergabung dengan Kompasiana. Baik disaat susah, maupun disaat senang. Dirgahayu Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H