Setelah menerima pesan pendek itu, saya mengingat-ingat kembali tentang tulisan tersebut. Memang, saya pernah menulis tentang Adolf Kabo, pesepak bola asal Papua yang pernah ngetop pada tahun 1986. Apakah tulisan ini yang dibaca dokter Hardi?
Iseng-iseng, memang tulisan itu saya tag ke Freez. Sesungguhnya, sewaktu ngetag ke Freez, saya tidak yakin tulisan sederhana itu akan dipilih Mas Isjet untuk mengisi halaman Freez di Harian Kompas.
Selain tulisan itu tergolong biasa, saya juga masih penulis newbie dan amatir, baru 6 bulan bergabung di Kompasiana. Antara percaya dan tidak percaya, saya berusaha meyakinkan diri bahwa informasi dari dokter Hardi itu benar adanya.
Esok pagi, tepatnya Jumat (25/11/2011), masuk nada panggil dari dokter Hardi ke handphone saya. Dia menyatakan sudah tiba di Takengon, dan mempersilahkan ke rumahnya untuk  mengambil Harian Kompas edisi Kamis 24 November 2011. Â
"Alhamdulillah, artikel ini memang pernah saya tulis di Kompasiana," gumam saya saat melihat artikel berjudul Papua, Gudang Pesepak Bola Kelas Dunia pada halaman 23 Harian Kompas.
"Saya pinjam koran ini ya," pinta saya.
"Nggak apa-apa, bawa aja. Sudah habis saya baca koq," kata dokter Hardi.
Nulis di Kompasiana dimuat di Harian Kompas? Antara mimpi dan kenyataan. Namun, perasaan hati senang tak terkira. Ingin hati menceritakan hal itu kepada teman-teman, tetapi mereka umumnya pelanggan Harian Kompas. Mereka pasti sudah membaca artikel itu.
Pastinya, sulit sekali menggambarkan perasaan dan situasi hati pada waktu itu. Senang luar biasa, itu yang pasti. Satu hal barangkali yang bisa digambarkan, "seolah-olah ribuan kuntum bunga sedang  turun dari langit."
Beberapa hari kemudian, saya menerima email dari Pengelola Kompasiana. Admin meminta saya mengirimkan nomor rekening dan nomor NPWP untuk pembayaran honorarium atas tulisan yang dimuat di Harian Kompas, edisi 24 November 2011.
Benar, sesuai jadwal yang ditentukan, saya menerima transfer honorarium (kalau tidak salah) sebesar Rp 250 ribu. Uang sebesar itu cukup besar bagi saya, karena cukup untuk meneraktir teman-teman minum kopi selama tiga hari. Rasa kopi pun jadi nikmat karena dibayar dengan honorarium menulis di Harian Kompas.