“...Suara RRI pun tidak kedengaran lagi. Hanya Radio Rimba Raya ini dalam situasi transisi yang sulit itu, dapat berfungsi sebagai alat perjuangan yang mampu menyalurkan aspirasi nasional. Kefakuman itu segera dapat diisi, sehingga rakyat Indonesia tidak mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu yang menafikan perjuangan republik, baik di dalam maupun di luar negeri,” tulis AK Jakobi dalam buku Aceh Daerah Modal (1992).
Keterangan AK Jakobi tersebut bukan isapan jempol. Jenderal TNI (Purn) TB Simatupang sudah mengungkapkan terlebih dahulu dalam buku “Laporan Dari Banaran” yang diterbitkan oleh PT Pembangunan, Jakarta (1959). Di situ Simatupang mensinyalir: “Selain pemancar yang ada di Wonosari, Jawa, masih terdapat pemancar radio yang kuat di Sumatera, yaitu di Kutaradja.”
Pemancar radio yang kuat di Sumatera itulah bernama Radio Rimba Raya, yang mempunyai daya pancar dengan kekuatan 350 watt telegrafi dan 300 watt telefoni. Dengan daya pancar sekuat itu diharapkan dapat menjangkau pendengar di Penang, Kuala Lumpur, Singapura dan semenanjung Malaya.
“...kalau siaran sudah sampai di Malaya, itu berarti pesan-pesan telah menyebar ke seluruh dunia,” ungkap Bustanil Arifin, salah seorang pelaku sejarah dalam Perang Kemerdekaan di Aceh, sebagaimana ditulis dalam buku Aceh Daerah Modal.
Selain itu, dengan bantuan radio tersebut, para pejuang di Aceh dapat menjalin komunikasi dengan pimpinan pusat perjuangan gerilya di sekitar pedalaman Yogyakarta dan Surakarta. Sebab, pada saat itu itu hanya ada tiga pemancar gerilya yang masih beroperasi secara terbuka. Siaran republik yang dipancarkan dari hutan Surakarta, siaran PDRI di Suliki Sumatera Barat, dan Radio Rimba Raya yang dipancarkan dari belantara Aceh Tengah.
Pada tanggal 30 Desember 1948 ada informasi penting yang disiarkan oleh radio PDRI di Suliki Sumatera Barat. Informasi itu selanjutnya direlay oleh Radio Rimba Raya dan disebarluaskan ke seluruh Indonesia serta luar negeri. Informasi penting tersebut berisi 4 butir Keputusan Ketua PDRI:
(1) Seluruh aparatur pemerintah RI supaya bekerja terus seperti biasa dimana saja berada untuk menyelamatkan Proklamasi 17 Agustus 1945;
(2) Untuk Pulau Jawa dibentuk Komisariat PDRI yang terdiri dari Susanto Tirtoprodjo, IY Kasimo, KH Masjkur, Supomo, dan RP Suroso;
(3) Pimpinan Angkatan Perang tetap dikukuhkan Jenderal Soedirman sebagai pimpinan gerilyawan Indonesia;
(4) Panglima Jawa ditetapkan Kolonel AH Nasution dan Penglima Sumatera Kolonel R Hidayat, Panglima ALRI Kolonel M. Nazir, Panglima AURI Kolonel Udara H. Sujono, dan Kepala Kepolisian Negara Komisaris Polisi Umar Said.
Tukar menukar informasi antar insan pers radio itu memberi manfaat luar biasa bagi perjuangan menegakkan Republik Indonesia. Buktinya, ketika radio republik yang beroperasi di hutan Surakarta menyiarkan informasi Serangan Umum 1 Maret 1949, siarannya terpantau oleh Radio Rimba Raya.