Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kompasiana dan "Boiled Frog Phenomenon"

24 Oktober 2016   21:42 Diperbarui: 25 Oktober 2016   03:12 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibawah kibaran Sangsaka Merah Putih, Pepih Nugraha meninggalkan negeri kopi menuju Jakarta [Dokumentasi Pribadi]

Tepat usia Kompasiana mencapai 8 tahun [22 Oktober 2016], saya dan pendiri blog sosial ini, Pepih Nugraha, malah sedang menelusuri negeri kopi di pedalaman Aceh. Kehadiran sosok yang dikenal dengan motto “nggak penting tapi perlu” itu ke Takengon, ibukota Kabupaten Aceh Tengah, terkait dengan pelatihan blogging dan bedah buku Hikayat Negeri Kopi.

Acara pelatihan blogging sudah berlangsung pada Kamis sore [20/10/2016] yang diikuti oleh ASN dari jajaran Pemkab Aceh Tengah. Sedangkan bedah buku Hikayat Negeri Kopi berlangsung pada hari Jumat sore bertepatan setelah pembukaan Kontes Kopi Specialty Indonesia [KKSI] ke-8. Pesertanya tidak tanggung-tanggung, buyer kopi dari seluruh Indonesia, termasuk buyer dari luar negeri.  

Dibawah kibaran Sangsaka Merah Putih, Pepih Nugraha meninggalkan negeri kopi menuju Jakarta [Dokumentasi Pribadi]
Dibawah kibaran Sangsaka Merah Putih, Pepih Nugraha meninggalkan negeri kopi menuju Jakarta [Dokumentasi Pribadi]
“Lha, pesertanya ada bule juga?” bisik Kang Pepih ketika melihat orang-orang yang hadir dalam aula Setdakab Aceh Tengah, tempat acara bedah buku. Benar, kata saya, bahkan ketika Kang Pepih membedah buku Hikayat Negeri Kopi akan duduk semeja dengan Mrs Judy G, salah seorang penentu harga kopi dunia.

Esoknya, bertepatan dengan HUT Ke-8 Kompasiana [Sabtu, 22/10/2016], kami menghadiri pembukaan KKSI di gedung Sistem Resi Gudang, Paya Ilang Takengon. Siangnya, Kang Pepih diundang Pak Karimansyah [Sekda Aceh Tengah] untuk mampir ke saungnya di kawasan Pukes Kebayakan, tepat di pinggir Danau Laut Tawar.

Dalam pikiran saya, momen itu sangat tepat untuk merayakan HUT Kompasiana. Saya merencanakan makan siang bersama di tepi Danau Laut Tawar sambil menikmati semilir angin barat yang cukup dingin.

Menu makan siang hari itu tidak istimewa, nasi putih dengan ayam goreng [ayam lepasss] ditambah sambal pedas [Kang Pepih malah sempat menyicipi gulai ikan mujahir masam jing, menu makan siang tukang kayu yang sedang bekerja di saung itu]. Sebagai menu penutup, tersedia secangkir kopi Gayo, jeruk keprok Gayo, ditambah sebuah durian yang kebetulan jatuh dari dahannya ketika Kang Pepih tiba disana.

Durian, bagian dari perayaan HUT Kompasiana [Dokumentasi Pribadi]]
Durian, bagian dari perayaan HUT Kompasiana [Dokumentasi Pribadi]]
Siang itu, Pepih Nugraha, merayakan HUT ke-8 Kompasiana di tepi sebuah danau, di pedalaman Aceh. Acaranya sederhana, padahal pengguna blog sosial ini mencapai 300 ribu akun lebih. Dan tanpa terasa, Kompasiana sudah eksis di dunia maya selama 8 tahun [22 Oktober 2008-22 Oktober 2016] dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Menilik segi usia, memang masih muda belia. Namun jangan dipandang sebelah mata, blog sosial besutan putra seorang guru dari Tasikmalaya ini, secara nasional sudah berada pada tahta ke-40 versi Alexa, dan secara global bertengger pada urutan ke-1.672.

Tahta ke-40 tidak terlalu buruk untuk sebuah blog “keroyokan,” karena posisi itu menandakan blog sosial ini bisa bersanding dengan situs-situs top lainnya. Pantas, apabila kemudian dia sering menulis semacam sinyal “nggak penting tapi perlu.” Apa maknanya? Perasaan saya mengatakan, Kompasiana memang tidak sepenting media lain, tetapi cukup “berisik dan informatif” sehingga kontennya sangat dicari dan diperlukan orang.

“Diawal berdirinya, Kompasiana malah dilecehkan,” ungkap Pepih Nugraha, dalam perjalanan menuju ke tepi Danau Laut Tawar.

Sedikit sulit menerjemahkan ungkapan itu, karena Pepih Nugraha tidak menjelaskan secara detil. Meski pada akhirnya, saya mulai memahami isyarat itu. Sebagaimana yang umum terjadi, biasanya underestimate itu berasal dari kelompok status quo yang merasa sudah mapan. Mereka dibuai oleh branding, sehingga merasa tidak perlu melakukan perubahan dan inovasi, toh trend “penjualan” tidak mungkin anjlok.

Akibatnya, banyak orang yang lupa mempersiapkan langkah antisipatif menghadapi kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat. Warga mulai beralih dari era serba kertas ke era paperless, dari era telepon engkol ke era smartphone android.

Ketidaksadaran itu, dalam ilmu manajemen disebut fenomena katak rebus [boiled frog phenomenon]. Coba letakkan seekor katak hijau dalam dandang berisi air. Lalu, air itu direbus. Perhatikan dengan seksama, katak itu tidak bakalan melompat dari dalam dandang. Sepertinya hewan amfibi itu menikmati air yang terus menghangat. Dan, ketika air mulai mendidih pada suhu 100⁰C, maka katak itu pun tewas.

Sebagai blogger [selain sebagai wartawan], Pepih Nugraha sudah lama mendeteksi perubahan gaya hidup warga dalam hal pemenuhan kebutuhan informasi. Intinya, warga tidak ingin terus menerus disuguhkan informasi secara sepihak, tetapi mereka pun ingin menjadi penyaji informasi. Oleh karena itu, dia tidak ingin tertular sindrom boiled frog phenomenon.

Era digital harus disongsong dengan informasi timbal balik, two way communication. Jangan paksakan warga “mengunyah” informasi sepihak, berikan mereka platform, bukan website. Sebab, penyajian informasi melalui website pelan-pelan akan ditinggalkan orang.

Faktanya, fenomena itu berhasil dibaca oleh pegiat teknologi informasi. Sejumlah micro blog berbentuk platform membanjiri dunia maya. Twitter misalnya, mereka bukan membangun website untuk penyajian informasi, tetapi membuat platform tempat warga menulis. Meskipun hanya tersedia space 140 karakter, toh para pengguna tetap memanfaatkan space itu untuk menulis informasi.

Micro blog dengan space 140 karakter saja diminati, pasti warga menyukai sebuah platform dengan space yang lebih besar. Dan, Kompasiana adalah sebuah platform, hadir dengan  space yang cukup untuk menulis artikel atau berita. Dengan penuh rasa optimis, akhirnya   Kompasiana secara resmi hadir ke “meja saji” warga bertepatan dengan tanggal 22 Oktober 2008.

Dari sini, citizen jurnalistik berkembang pesat. Para penulis bermunculan dengan tulisan  “berisik” sehingga memaksa semua orang untuk melirik. Tentu, jumlah pengguna dan pengunjung terus bertambah saban waktu. Kini, gagasan fenomenal ini mulai direplikasi. Bertebaran platform sejenis Kompasiana di dunia maya yang tampil dengan berbagai nama. Bangga, makanya saya hanya bisa mengucapkan dua kata: Dirgahayu Kompasiana!

Peringati HUT Kompasiana dengan secangkir kopi Gayo dan sepotong gutel, pengananan khas Gayo [Dokumentasi Pribadi]
Peringati HUT Kompasiana dengan secangkir kopi Gayo dan sepotong gutel, pengananan khas Gayo [Dokumentasi Pribadi]
Menunggu gulai mujahir masam jing, gulai khas Dataran Tinggi Gayo [Dokumentasi Pribadi]
Menunggu gulai mujahir masam jing, gulai khas Dataran Tinggi Gayo [Dokumentasi Pribadi]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun