Mengerikan! Indonesia diprediksi akan mendapat bonus demografi alias terjadi ledakan penduduk usia produktif pada rentang waktu antara tahun 2020 sampai 2030. Hal itu ditandai dengan melonjaknya penduduk usia produktif yang diprediksi mencapai 70% dari jumlah penduduk Indonesia.Â
Sementara itu, lapangan kerja dari hari ke hari makin terbatas, akibatnya pengangguran tumbuh di mana-mana. Mereka yang berpangku tangan akan digilas zaman, sebaliknya mereka yang kreatif akan selamat dari "terkaman" bonus demografi.
Jangan khawatir, era itu bisa dihadapi, kita masih punya harapan. Masa iya? Nggak percaya, simak etos kerja seorang perempuan disabilitas dari Takengon Aceh Tengah. Perempuan itu bernama Nurazan, usianya masih tergolong muda, 42 tahun.Â
Meskipun masih muda, perempuan berkulit putih ini sudah dipanggil nenek. Kenapa? Sejak anak sulungnya, Yuli seorang sarjana lulusan Universitas Gajah Putih Takengon melahirkan seorang puteri maka status sosial Nurazan berubah dari seorang ibu menjadi nenek.
Melihat raut wajah perempuan ini, orang pasti tidak percaya, dia sudah bergelar nenek. Lebih-lebih dari penampilannya, masih muda, cantik, enerjik, humoris dan percaya diri. Pekerjaannya sederhana, di samping sebagai ibu rumah tangga, dia juga membantu suami menambah penghasilan keluarga dengan bekerja sebagai penyortir kopi.
Manakala tidak ada kopi untuk disortir, Nurazan rela menjadi buruh petik kopi, atau buruh pembuat batako. Bagi orang lain, boleh saja mengatakan lapangan kerja makin sempit, sebaliknya tidak bagi Nurazan. Baginya, lapangan kerja itu cukup banyak, masalahnya hanya mau atau tidak untuk bekerja.
Pilihan pekerjaan Nurazan rata-rata membutuhkan jari jemari, sementara perempuan ini tidak memiliki jemari selengkap orang normal. Mampukah perempuan berkulit putih itu menjalankan semua pekerjaan tersebut?Â
Ketika owner Horas Kopi Gayo, Aman Qamara, menceritakan keterampilan perempuan itu, saya nyaris tidak percaya. Pasalnya, untuk orang berjari normal akan kesulitan menyortir biji kopi, bagaimana pula dengan orang berjari tidak lengkap.
Menyadari keraguan saya, akhir Juli 2016, Aman Qamara mengajak saya untuk menyaksikan langsung aksi Nurazan menyortir biji kopi di komplek penggilingan kopi milik Haji Irham, Simpang Empat Bebesen Takengon.Â
Di sana, dalam sebuah bangunan kayu terlihat ada empat orang perempuan duduk mengelilingi sebuah meja kayu. Diatas meja itu ada setumpuk biji kopi [green bean], dan keempat perempuan itu dengan tangkas memilih biji rusak dari tumpukan biji kopi.
Mata saya bertumpu ke arah jemari Nurazan, salah satu dari empat perempuan yang ada disana. Tangan dengan jemari tak lengkap itu bergerak sedemikian cepat, menari-nari memilih dan memilah biji kopi rusak. Cara kerjanya tidak berbeda dengan orang yang memiliki jemari lengkap.Â