Amazing, hati saya mengatakan luar biasa untuk etos kerja perempuan ini. Disabilitas tidak sedikitpun menghalangi semangatnya untuk kerja, kerja dan dan terus bekerja.
“Maaf, sejak kapan ibu kehilangan jari-jari tangan itu?” sela saya. Sejenak perempuan itu terdiam sambil menarik nafas dalam-dalam. Saya mulai khawatir, apakah pertanyaan itu menyinggung perasaannya.
“Ini bawaan sejak lahir,” jelas Nurazan. Saya mengangguk-angguk, senang, karena pertanyaan tadi tidak menyinggung perasaannya. Ini artinya, saya bisa melanjutkan beberapa pertanyaan berikutnya.
“Sejak kapan ibu mulai menyortir kopi?” tanya saya lagi.
“Sejak si Yuli ini masih duduk dibangku SMP,” jawab Nurazan sambil menunjuk kearah perempuan muda yang duduk disebelah kanannya. Ternyata perempuan beranak satu yang sedang asyik menyortir biji kopi itu adalah puteri sulungnya. Hebatnya, perempuan yang bernama Yuli itu seorang sarjana lulusan Universitas Gajah Putih, sebuah gelar terhormat yang dibiayai dari upah menyortir kopi.
“Seberapa banyak sudah penghasilan yang ibu peroleh dari menyortir kopi?” lanjut saya.
“Hmmm.... berapa ya? Pokoknya dengan upah menyortir kopi ini, saya dapat sekolahkan Yuli dan adik-adiknya,” ungkap Nurazan.
“Dalam sehari, seberapa banyak ibu mampu menyortir biji kopi?” kejar saya.
“Pernah sampai 200 kilogram sehari,” sebut perempuan asal Pejebe itu.
“Berapa upahnya?” tanya saya makin penasaran.