Keterangan foto: gajah, hewan cerdas yang dapat dijinakkan bahkan ditunggangi [Foto: dokpri].
Menarik membaca Tajuk Rencana sebuah media lokal di Aceh, Kamis 29 Oktober 2015, yang melihat konflik gajah dengan warga bisa bergeser menjadi konflik antara warga dengan pemerintah. Disebutkan lagi dalam ulasan itu: “...warga memang masih bersikap ‘mengalah dan sabar’ atau mungkin juga menghindar karena ketakutan, meskipun sudah ada sejumlah warga tewas atas keberingasan gajah.”
Analisis dalam Tajuk Rencana itu bukan “gertak sambal,” tetapi sebuah alert warning system kepada semua stake holder. Sinyal itu ingin menegaskan bahwa konflik gajah dengan warga bukan hanya akan memakan korban nyawa, tetapi bisa melebar akibat ketiadaan penanganan serius dari lembaga berwenang.
Persoalannya, membunuh gajah merupakan pelanggaran hukum, lantaran membunuh hewan langka yang dilindungi. Sebaliknya membiarkan 40 ekor gajah “menginvasi” sebuah desa seperti di Kilometer 60 Kecamatan Pintu Rime Gayo Kabupaten Bener Meriah, sama dengan membiarkan manusia “dibunuh” oleh gajah.
Solusi yang kerap dilakukan pemerintah daerah setempat adalah menghalau gajah dengan berbagai cara. Menghalau gajah membutuhkan biaya besar, siapa yang harus menanggung biaya? Warga, jelas untuk bertahan hidup pun sudah sangat kesulitan. Pemerintah daerah setempat? Mengalokasikan anggaran bukan untuk tugas yang menjadi kewenangannya bisa berujung kepada tindak pidana korupsi.
Kita bisa menerima kritik Tajuk Rencana itu yang menulis: “sikap BKSDA yang selalu mengatakan tak punya anggaran.” Tetapi, perlu juga memperjelas, kenapa pemerintah daerah setempat “setengah-setengah” dalam merespon masalah itu. Sebenarnya pemerintah daerah sudah reroyan [kapok-bahasa Gayo] menangani pekerjaan yang bukan wewenangnya, lantaran rata-rata akan berujung kepada masalah hukum.
Sebenarnya, siapa pun pasti menginginkan konflik gajah dengan warga kelar secepatnya, termasuk pemerintah daerah setempat. Kenapa? Konflik itu mengakibatkan warga kehilangan mata pencaharian, menjadi warga miskin baru, otomatis menjadi beban pemerintah daerah setempat.
Kesusahan dan kesulitan itu akan diadukan warga kepada pemerintah daerah terdekat, bukan kepada pemerintah provinsi, apalagi pemerintah pusat. Mereka meminta bantuan atau biaya hidup, bantuan masa panik. Apapun ceritanya, pemerintah daerah setempat tidak mungkin menolak permintaan itu. Sebab, mereka tergolong korban bencana “invasi” gajah, sehingga pemerintah daerah setempat dapat menggunakan pos dana tak tersangka.
Bantuan masa panik ini ada batasnya, tergantung kepada surat pernyataan bencana yang ditanda tangani kepala daerah. Artinya, warga tidak mungkin menerima bantuan itu sepanjang tahun. Makanya, persoalan pokok harus segera ditangani, kawanan gajah harus dihalau atau dipindahkan ke kawasan konservasi.
Siapa yang bertugas dan berwenang menangani persoalan itu? Karena BKSDA “terkesan buang badan” dengan alasan ketiadaan anggaran, maka sasaran tudingan paling empuk adalah pemerintah daerah [pemerintah kabupaten]. Entah karena belum tahu, atau akibat tekanan publik, akhirnya pemerintah daerah mengambil tanggung jawab menghalau kawanan gajah.
Sebenarnya upaya itu boleh-boleh saja, semacam bentuk rasa prihatin atas penderitaan warga dan keinginan melindungi hewan langka. Hanya saja, tugas dan wewenang dalam sistem pemerintahan di Republik Indonesia sudah dibagi habis. Mari kita lihat dalam lampiran Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, disana ada matrik pembagian urusan konkuren antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.