Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Pencatut

17 November 2015   11:26 Diperbarui: 17 November 2015   11:26 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keterangan foto: ilustrasi [foto: metrotvnews.com]

Catut, kalau mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI] artinya alat untuk mencabut (memotong) paku dan sebagainya, bentuknya seperti paruh burung kakaktua. Sedangkan kata kerjanya mencatut. Menurut KBBI, mencatut adalah memperdagangkan [sesuatu] dengan cara yang tidak sewajarnya dan mengambil untung sebanyak-banyaknya [seperti memperdagangkan karcis bioskop dengan harga lebih daripada harga resmi]; menyalahgunakan [kekuasaan, nama orang, jabatan, dan sebagainya] untuk mencari untung: banyak orang yang ~ nama pejabat untuk kepentingan pribadi.

Mencatut adalah pekerjaan para pencatut. Pekerjaan paling mudah, tetapi uangnya berlimpah. Modalnya nekat dan jago bicara [lobi]. Mereka yang memilih pekerjaan ini umumnya pemberani.  Selalu siap berkelahi, baik secara adu fisik [duel satu lawan satu] maupun non-fisik [memakai tangan orang lain]. Sosok seperti ini dikenal pula sebagai preman, sering ditemukan di terminal, bioskop, stadion, atau pusat-pusat ekonomi lainnya.

Sesungguhnya, mencatut bukan semata-mata dilakukan oleh preman kelas terminal [teri], tetapi ada juga pencatut kelas kakap. Pencatut kelas teri sekedar mencari makan, bukan mencari kaya. Misalnya pencatut tiket sepak bola, harga tiket resmi Rp 100 ribu, dijual Rp 150 ribu, dapat untung Rp 50 ribu. Pemakai jasa pencatut tidak protes, lebih baik rugi Rp 50 ribu daripada antri berdesak-desakan di depan loket.

Paling “mengerikan” adalah pencatut berkerah putih alias kelas kakap, hasilnya bisa membeli jet pribadi. Modal mereka bukan tenaga, tetapi komunikasi [lobi]. Mereka datang dengan dengan mobil mewah, trendy, seperti sosok terhormat berwajah klimis, bicaranya santun dan komunikatif. Sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang preman, lebih kepada politisi atau pengusaha.

Kehebatanya, mereka memiliki koneksi dengan sejumlah “orang penting,” bisa menelepon kapan saja dengan tokoh tertentu. Sering speaker handphone sengaja di-on-kan, sehingga suara diseberang sana terdengar dengan jelas. Mendengar itu, siapa yang tidak yakin bila orang itu memang memiliki koneksi dengan sang tokoh. Mereka inilah tangan dibalik layar, tidak tersentuh, tetapi meraup laba besar dari lobi-lobi itu.

Dia cukup menjual nama seseorang, misalnya kenal dekat dengan tokoh ini atau tokoh itu. Dia bisa menghubungkan seseorang dengan bapak polan atau ibu polin. Bisa mempertemukan tokoh politik ini atau itu dengan kita, atau melobi proyek ini dan proyek itu. Terkadang kita tidak percaya, faktanya, mereka memang bisa membuktikan omongannya. Bingung? Itulah real power, kekuasaan dibalik kekuasaan, tangan-tangan gelap yang mengatur sebuah kepentingan.

Siapa pun pasti tidak suka dicatut. Semua orang menginginkan ruang gerak pencatut ditutup serapat-rapatnya. Sayangnya, mencatut adalah bisnis jasa, dibutuhkan meskipun tidak disukai. Kenapa? Karena masih banyak sisi abu-abu yang menyebabkan sebuah proses [prosedur] kurang jelas dan tidak transparan.

Coba lihat di Stasion Gambir dan Bandara Soetta, dahulu calon penumpang pasti dikejar-kejar oleh pencatut. Sekarang, penumpang sudah punya e-ticket, cukup menunjukkan kode booking, penumpang bisa meminta print out tiket. Sejak sistem itu diberlakukan, peluang pencatut kelas teri makin tertutup.

Pencatut kelas teri berkurang, namun pencatut kelas kakap [sepertinya] terus bertambah. Malah, dunia perpolitikan nasional dihebohkan oleh penampakan broker lobi dan pecatut kelas paus. Polemik ini terus bergulir memenuhi laman media sosial dan media mainstream. Rakyat bingung melihat situasi itu. Entah kapan berakhir, pastinya kapal bernama “nusantara” mulai dihempas ombak.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun