Kang Pepih Nugraha sebagai penyuka kopi Gayo harus disuguhkan secangkir kopi Gayo. Kebetulan dalam ransel ada sebungkus kopi Gayo yang sudah dibuka. Saya mohon kepada perempuan berbaju krem, barista Javaro Cafe, untuk meracik bubuk kopi itu menjadi espresso. Dia berkenan, lalu diisinya stang mesin bermerek Probat itu dengan bubuk kopi Gayo. Hasilnya, terhidanglah secangkir espresso dengan aroma khas kopi Gayo.
Setelah menyeruput kopi Gayo, fokus perbincangan beralih kepada urusan kopi. Mulai dari kebiasaan Kang Pepih Nugraha minum kopi tanpa gula, sehari ngopi 1 mug besar, sampai rencana mengisi masa pensiun dengan membuka cafe kopi Gayo. Cafe itu, direncanakan sebagai padepokan menulis untuk anak-anak dan remaja Tasikmalaya.
“Sudah bosan dengan hiruk pikuk dan kemacetan Jakarta,” kata Kang Pepih.
“Itu gagasan cemerlang. Saya siap memasok coffee roasted,” kata saya.
Kenapa saya berani mengatakan siap memasok coffee roasted? Di Takengon Aceh Tengah, beberapa blogger yang sering menulis di Kompasiana, juga berprofesi sebagai penyangrai [roaster] kopi Gayo. Biasanya, sesama blogger ada ikatan emosional, persahabatan, dan rasa kebersamaan. Sudah tentu ada diskon khusus dalam hal bisnis jual beli coffee roasted antar sesama blogger.
Itu kemudahannya, namun ada problem, biaya pengiriman cukup besar. Biasanya, mengirim 1 kilogram kopi Gayo dari Takengon ke Jakarta, harus membayar ongkos kirim sebesar Rp 30 ribu. Lebih dari 1 kilogram, dikenakan tambahan biaya Rp 30 ribu lagi. Bayangkan, apabila pengiriman coffee roasted mencapai 10-20 kilogram, pasti lebih besar ongkos kirim daripada harga kopi.
Supaya lebih hemat, pengirimannya dapat menggunakan jasa bus rute Aceh-Jakarta. Kelemahannya, kiriman itu harus diambil ke pool bus tersebut, ada yang di Tangerang atau Kalideres. Nanti packingnya dibuat kedap udara, supaya aroma kopi Gayo itu tetap bertahan seperti aslinya. Kenapa? Kopi memiliki sifat higroskopi, peka terhadap bau disekitarnya.