Keterangan foto: Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengendarai gajah saat menghadiri hari menanam pohon tahun 2014 lalu di Saree Aceh Besar.
Negara kepulauan masih mengimpor garam, ironis bukan? Cerita ini bukan hoax, tetapi sudah terjadi di Indonesia. Data BPS sebagaimana dikutip detikFinance (5/6/2015) menyebutkan bahwa pada periode Januari - April 2015 impor garam Indonesia sebanyak 486.509 ton atau setara dengan US$ 21,8 juta.
Khusus bulan April 2015, impor garam Indonesia mencapai 95.164 ton atau setara dengan US$ 4,5 juta. Garam itu diimpor dari Australia sebanyak 47.235 ton, India 47.362 ton, Selandia Baru 552 ton, Singapura 4,1 ton, dan negara lainnya 11,4 ton. Sungguh fantastis, bukan?
Ada yang lebih fantastis lagi. Aceh pernah mengekspor gajah sebelum Indonesia mengimpor garam. Masa iya? Sebelum Republik Indonesia berdiri, sesungguhnya kerajaan-kerajaan di nusantara sudah melakukan perdagangan luar negeri. Salah satunya adalah Kerajaan Aceh Darussalam yang sudah pernah mengekspor gajah ke Ceylon (Srilanka). Belum yakin? Ini bukan kata saya, lho.
Ini kata Denys Lombard (2008:130) dalam buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda yang diterbitkan oleh Kepustakan Populer Gramedia (KPG). Dikatakannya: “Selain pertahanan yang tepat guna, gajah juga merupakan hasil ekspor yang membawa laba bagi Aceh. Peter Mundy mencatat hal itu pada tahun 1637: ‘From hence allsoe they carry yong elephants, their country accompted to heed the biggest and fairest,’ dan Tavernier menegaskan bahwa mereka dibawa ke Ceylon. Dalam bagian keempat Adat Aceh ada pasal khusus mengenai pajak yang dipungut atas ekspor gajah, cara pemungutannya dan pembagian hasilnya.”
Berapa pajak untuk seekor gajah? Dalam catatan kaki buku itu, Lombard menerangkan: berdasarkan Adat Atjeh folio 154, “Adat Gajah”: “diberinya adat dua puluh tiga tahil dulapan pada seekor.” Tahil adalah mata uang Aceh pada waktu itu, berapa kursnya, Lombard tidak menjelaskan perbandingannya dalam buku tersebut.
Bagaimana gajah-gajah itu dijinakkan? Lombard menulis, menurut perhitungan Beaulieu ada 900 ekor. Gajah itu dibiasakan pada tembakan sehingga tidak takut lagi “dengan melepaskan tembakan-tembakan didekat telinga mereka dan disekeliling mereka,” dengan melambai-lambaikan disekitar mereka “berkas-berkas jerami yang dibakar dan diikat pada ujung tombak panjang,” mereka dibiasakan sehingga tidak takut api lagi.
Bukan hanya gajah yang diekspor, ternyata Kerajaan Aceh Darussalam pernah mengekspor kuda. Dalam buku itu, Lombard menegaskan di halaman 131: “Pada tahun 1688, Dampier mencatat ekspor kuda Aceh ke Koromandel, dan dalam Adat Aceh terdapat peraturan mengenai bea cukai yang dikenakan pada jenis perdagangan tersebut.”
Pada catatan kaki, Lombard menjelaskan: J.Filliozat telah memberitahu kami bahwa kamus Tamil-Prancis, karangan Mousset dan Dupuis sudah memuat kata Accikkutirai, “kuda dari Aceh,” dan Acci(kkutirai)natai, “larinya kuda Aceh, ligas,” tanda satu lagi ada kuda Aceh di negeri Tamil.
Kuda Aceh itu asalnya dari mana? Juga pada halaman 131, Lombard mennyatakan: Ada kuda yang diimpor dari Barat, tetapi agaknya kebanyakan datang dari pedalaman; menurut de Graaft, disana dilihatnya “kawanan kuda liar.” Dalam catatan kaki sebagaimana yang dilihat de Graaft adanya "kawanan kuda liar," Lombard memperjelas: “Pada abad ke-19 perdagangan kuda merupakan kekayaan Tanah Gayo, Jenis ini agak kecil dan mungkin sekali jenis pribumi yang terdapat di seluruh Nusantara.”
Fantastis bukan? Urusan ekspor ternyata bukan urusan masa kini, tetapi sudah berlangsung ratusan tahun lalu. Ekspor gajah dan kuda salah satu contoh kemajuan yang pernah dicapai kerajaan-kerajaan besar di nusantara tempoe doeloe. Belum lagi jika para penulis bersedia mengulas aspek perdagangan luar negeri kerajaan-kerajaan tempoe doeloe yang pernah berdiri di daerahnya, tentu makin melengkapi wawasan kita. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H